Guru Jadi 'Alat Politik'

Baik atau buruknya kualitas guru selama ini tak terlepas dari pembinaan di masing-masing daerah. Permasalahannya selama ini guru sering dijadikan alat politik oleh para kepala daerah. Yang dimaksud dijadikan alat politik adalah pergerakan mereka selalu diatur oleh para kepala daerah. Mulai dari pembinaan hingga pemindahannya terkesan semau diatur oleh sang bupati atau walikota. Ketua Umum PB PGRI, Sulistyo, memberi contoh adanya guru SD yang bisa menjadi kepala sekolah suatu SMA setelah menjadi tim sukses kepala daerah yang bersangkutan. Atau guru SMA yang tiba-tiba diminta mengajar SMP karena tidak mau diatur kepala daerah.
Fenomena tersebut patut dikaji secara bijaksana. Semua hendaknya mempertimbangkan baik buruknya, untung ruginya. Berpikir untuk masa depan lebih baik, adalah keniscayaan bagi stakeholders dunia pendidikan. Politisasi pendidikan harus dihentikan. Biarlah pendidikan hanya untuk pendidikan dan pendidikan untuk semua. Fakta menunjukkan bahwa politisasi pendidikan lebih banyak mudarat tinimbang manfaat. Lalu, siapa yang harus memulai kajian ini?
Jawaban yang pertama dan utama adalah anggota dewan yang terhormat. Saat ini sebagai wakil rakyat, dewan yang terhormat adalah penerima aspirasi rakyat. Begitu besar harapan masyarakat, terutama yang bergerak dalam bidang pendidikan, agar politisasi pendidikan dihentikan. Harapan ini hendalknya disambut dengan serius oleh anggota dewan yang terhormat, ditengah mulai terpuruknya kehormatan lembaga wakil rakyat ini. Keterpurukan kehormatan lembaga wakil rakyat yang terhormat disebabkan oleh sebagian kecil anggota yang berperilaku kurang terpuji. Tidur saat rapat, bolos, main HP, ngobrol saat sidang, perkelahian dan debat kasar antaranggota, serta adanya kasus korupsi berjamaah adalah fakta yang menyebabkan degradasi kepercayaan rakyat kepada para wakilnya. Dalam konteks inilah, maka sudah saatnya dewan yang terhormat berjuang untuk kepentingan rakyat dan memulihkan nama baik lembaga yang terhormat ini. Tidak hanya dalam wacana saja berjuang, tetapi harus berwujud dalam tindakan nyata. Jangan selogan yang berjuang, tetapi tindakan terbuang.
Mengawali perjuangan mulia ini, dapat dimulai dari dunia pendidikan. Karena, pendidikan adalah investasi jangka panjang dan cenderung tidak populer serta tidak mengandung muatan politis. Lembaga wakil rakyat harus berani berpihak kepada rakyat. Dunia pendidikan pada umumnya nonprofit. Sehingga, berani berjuang demi pendidikan berarti berani berjuang tanpa imbalan profit. Akan tetapi, berjuang untuk generasi mendatang. Perjuangan dewan terhormat dapat dilakukan dengan mengkaji desentralisasi pendidikan di tingkat kabupaten. Karena, fakta di lapangan menunjukkan bahwa PNS pada umumnya dan guru pada khususnya sangat mudah menjadi alat politik di daerah. Mungkin memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi atau pusat, lebih bermanfaat tinimbang kabupaten. Sekali lagi, perlu kajian secara proporsional dan profesional. Kajian harus dilakukan secara objektif, jujur, tanpa ada intrik politik, serta ikhlas hanya untuk dunia pendidikan demi masa depan generasi. Semoga! (Penulis: Gede Putra Adnyana)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis