Ketika Nilai Rapor untuk SNMPTN


Oleh: Gede Putra Adnyana
(Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng, Bali)
Thursday, April 11th, 2013

Mantapnya keputusan pemerintah menjadikan nilai rapor siswa SMA/SMK sebagai salah satu elemen seleksi penerimaan 
Gede Putra Adnyana

masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2013 patut diapresiasi. Ini membuktikan ada kepercayaan pemerintah, khususnya perguruan tinggi terhadap kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar pada jenjang pendidikan menengah. Namun, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan dampak ikutan terhadap pemberlakuan kebijakan ini? Karena nilai rapor disinyalir relatif sering dan mudah dimanipulasi. Beberapa fakta yang mengemuka diantaranya, adanya pengguguran penerima bidikmisi, akibat nilai rapor yang dikirim secara online tidak sesuai dengan nilai rapor aslinya.  Bahkan, untuk tahun 2013 banyak SMA di sejumlah daerah masuk daftar hitam perguruan tinggi. Sekolah-sekolah tersebut dinilai telah memalsukan data. Fakta-fakta ini diduga merupakan fenomena gunung es yang patut diwaspadai.


Harus diakui bahwa kualitas sekolah sangat beragam. Sekolah di perkotaan cenderung kualitasnya lebih baik tinimbang di pedesaan. Umur sekolah yang lebih tua juga cenderung mempunyai kualitas lebih baik daripada sekolah berumur muda. Pendek kata, sekolah memiliki kualitas yang berbeda ditinjau dari 8 standar nasional pendidikan (SNP). Ke-8 SNP tersebut, yaitu standar isi, kompetensi lulusan, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Perbedaan pada kualitas SNP dipastikan menyebabkan perbedaan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, manakala menyamakan kualitas nilai rapor siswa pada kualitas sekolah yang berbeda.


Perbedaan kualitas sekolah juga jelas terlihat dari animo siswa. Siswa dengan tingkat kemampuan tinggi dipastikan akan memilih sekolah favorit yang cenderung berada di perkotaan.  Penjaringan siswa dilakukan melalui jalur prestasi akademik, sehingga efektif menjaring siswa yang potensial.  Di lain pihak, sekolah di pedesaan atau yang berumur muda hanya memperoleh sisa-sisa yang harus diterima dalam kerangka menyukseskan rencana wajib belajar 12 tahun. Dengan kata lain, sekolah tersebut sudah jatuh tertimpa tangga pula. Artinya, kualitas SNP sudah pas-pasan, ditambah lagi siswa yang diterima juga pas-pasan. Akibatnya, siswa dan guru teramat sulit untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajarnya. Jika kualitas masukannya saja sudah amat berbeda, maka dapat dipastikan proses dan hasil belajarnya pun akan berbeda kualitasnya. Lalu, apakah realistis, logis, dan relevan membandingkan dan bahkan menyamakan kualitas nilai rapor siswa pada sekolah yang nyata-nyata berbeda kualitas. Adalah kesalahan besar dan menyuburkan  ketidakadilan, tatkala menyamakan sesuatu yang berbeda.


Dalam konteks ini, jika nilai rapor dijadikan sebagai salah satu elemen SNMPTN maka ada kecenderungan komponen kualitas, objektivitas, kejujuran, dan bahkan keadilan akan terzalimi. Ke depan satuan pendidikan tidak mau dan bahkan tidak berani memberikan nilai rendah pada rapor siswa. Dengan berbagai alasan dan daya upaya, guru bersama semua komponen sekolah akan memasang strategi untuk memberikan nilai tinggi dalam rapor siswa. Walaupun tindakan itu disadari menghancurkan idealisme dan mengingkari hati nurani profesi guru. Muncullah fenomena mengangkat nilai rapor secara massal. Lama kelamaan fenomena dan tindakan ini menjadi kebiasaan, sesuai denga hukum alam ala bisa karena biasa. Dampak berikutnya, siswa yang berhak diterima melalui jalur SNMPTN, tidak dapat mengambil haknya, karena diserobot oleh siswa lain yang tidak berhak. Ketika hak dan kewajiban tidak dihadirkan dengan kejujuran dan keadilan, maka penzaliman itu telah mewujud nyata.


Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menetapkan kriteria ketuntasan minimal  (KKM) juga menjadi bagian yang terkena dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Sangat mungkin sekolah-sekolah akan memasang KKM yang tinggi. Hal ini terjadi, karena belum adanya aturan yang mengaturnya, hanya keberanian dan demi kepentingan siswa menjadi landasan. Penetapan KKM yang tinggi semata-mata agar nilai rapor siswa dapat bersaing dengan nilai rapor siswa pada sekolah lainnya. Sekali lagi, agar dapat bersaing untuk merebut kursi di perguruan tinggi negeri. Akhirnya, mucullah fenomena penetapan KKM yang tinggi dengan mengabaikan faktor intake, daya dukung, dan kompleksitas. Kondisi ini memaksa para guru dan siswa mencapai nilai KKM.  Berbagai tindakan dilakukan, antara lain memberikan pembelajaran tambahan, tugas di rumah, remidial berkali-kali, menurunkan tingkat kesulitan soal, memberikan soal yang sama, dan akhirnya terpaksa memberikan nilai sebesar KKM karena semua upaya telah dilakukan tetapi nilai siswa belum juga mencapai KKM. Kondisi ini mengakibatkan guru dengan sadar telah mengingkari 9 prinsip penilaian, yaitu sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria dan akuntabel. Akibatnya, tidak jarang nilai-nilai yang tertulis pada rapor siswa sangat fantastic dan tidak sesuai dengan kompetensi siswa yang sesungguhnya.


Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, tidak menutup kemungkinan rekayasa atau markup nilai rapor siswa secara massal akan menjadi kebiasaan buruk di dunia pendidikan. Kebiasaan buruk atas nama membantu kepentingan siswa agar dapat menembus perguruan tinggi negeri. Proses pembelajaran dan hasil belajar siswa banyak dipenuhi kepura-puraan. Semua dilakukan atas nama kepentingan siswa. Sehingga, siswa, guru, pegawai, orang tua siswa, bahkan masyarakat ikut larut di dalamnya. Sekali lagi, demi kepentingan dan masa depan siswa. Akibatnya, hancurlah idealisme, sikap kritis, kreatif, dan inovatif di kalangan siswa dan guru.


Kewenangan satuan pendidikan untuk menetapkan KKM sesuai KTSP seakan menjadi pembenar atas fenomena tersebut. Kondisi Ini sangat berbahaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Oleh karena itu harus ada upaya antispasi dari semua komponen pendidikan untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan dampak negatif tersebut. Dalam hal ini pemerintah menjadi ujung tombak sebagai pengambil keputusan di bidang pendidikan. Paling tidak, hendaknya dihadirkan peraturan yang mampu menjawab permasalahan tersebut demi pendidikan di masa datang. Peraturan yang menjadi payung hukum bagi guru untuk tidak takut bertindak dan berani bertanggung jawab dalam mengimplementasikan keprofesionalannya sebagai guru demi mencerdaskan kehidupan bangsa. (Sumber: http://www.imobeducare.com/story/gede-putra-adnyana-1)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis