Narasi dan Eksekusi Sampah Plastik dalam Pararem

Tidak dapat dimungkiri, nyaris semua manusia di bumi ini sangat mengenal kata plastik. Namun, patut diduga tidak semua memahami karakteristik, sifat, jenis, dan dampak plastik bagi kehidupan. Kata plastik berasal dari bahasa Yunani, yakni plastikos yang berarti lentur dan mudah dibentuk.
Diduga bahan sejenis plastik telah digunakan sekitar 150 tahun sebelum masehi oleh bangsa Olmec di Meksiko. Plastik modern dari selulosa pertama kali dibuat oleh Alexander Parkes yang selanjutnya disebut parkesine dan dipamerkan di London's Science Museum pada tahun 1862. Namun, era plastik modern dimulai sejak ditemukannya Bakelite oleh Leo Baekeland pada tahun 1907. Bakelite adalah plastik sintetis pertama di dunia yang berasal dari bahan bakar fosil (Sartika dalam https://sains.kompas.com, 22/03/2018).
Narasi Sampah Plastik
Perkembangan dan penggunaan plastik mengalami sejarah panjang dalam kehidupan manusia di muka bumi. Semakin lama, plastik digunakan semakin massif baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Di awal-awal temuan dan penggunaannya, plastik belum menunjukkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tetapi, saat ini manusia mulai menyadari dampak negatif penggunaan plastik bagi hidup dan kehidupan manusia. Kesadaran ini tumbuh ketika darat, air, dan udara diteror oleh sampah plastik dari berbagai penjuru.
Plastik adalah bahan polimer sintesis yang dibuat melalui proses polimerisasi, sehingga membentuk rantai yang sangat panjang (makromolekul). Secara umum sifat-sifat plastik, diantaranya tidak tembus air, mudah dibentuk dan dicetak, ringan, tidak mudah pecah, mudah terbakar, lentur, tembus pandang, dan isolator panas dan listrik. Sifat lain dari plastik, jika dihadapkan dengan hidup dan kehidupan adalah sangat sulit dihancurkan atau didegradasi oleh mikroorganisme. Sifat inilah yang menyebabkan sampah plastik menimbulkan permasalahan bagi kehidupan manusia.
Ketika sampah plastik tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme, maka eksistensinya akan bertahan dalam jangka waktu lama. Hal ini yang menyebabkan sampah plastik menumpuk, meninggi, dan menggunung sehingga memakan tempat dan ruang di muka bumi. Sifat sampah plastik yang ringan cenderung terangkat ke permukaan sehingga mencemari lingkungan. Jika sampah plastik dibakar, maka asapnya mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Demikian pula manakala terjadi hujan, sampah plastik dapat tercecer dan tersangkut ke dalam aliran yang pada akhirnya menyebabkan banjir. Oleh karena itu, penggunaan plastik yang massif akan menimbulkan sampah plastik yang massif, dan dipastikan menyebabkan masalah lingkungan yang massif pula. Lalu, apakah penggunaan plastik lebih banyak mudarat atau manfaatnya?
Gambar 1. Sampah plastik yang mencemari air, menyumbat aliran kali/irigasi, dan menyebabkan banjir (dokumen pribadi)
Eksekusi Sampah Plastik
Fakta di lapangan menunjukkan ada kecenderungan penggunaan plastik sekali pakai di kalangan krama Bali meningkat pesat. Fenomena ini tentu sangat berbahaya, karena dipastikan akan meningkatkan kuantitas sampah plastik yang ditimbulkan. Oleh karena itu, dipandang perlu dan mendesak untuk mencermati dan mencarikan solusi terhadap permasalahan penggunaan plastik sekali pakai. Dalam konteks inilah, maka Gubernur Bali mengeluarkan Peratutan Gubernur Bali Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Dalam Pergub tersebut dijelaskan bahwa plastik sekali pakai (PSP) adalah segala bentuk alat atau bahan yang mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic syntetic polymeric dan digunakan sekali pakai. Dengan demikian, PSP mencakup jenis dan sifat plastik yang beragam dengan cakupan yang luas.
Ada dugaan, bahwa PSP adalah penyumbang sampah plastik terbesar. Hal ini karena, volume dan frekuensi penggunaannya di kalangan krama Bali sangat tinggi. Akibatnya, residu dalam bentuk sampah plastik juga sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu upaya antisipasi terhadap penggunaan PSP sehingga dapat mereduksi sampah plastik. Salah satu upaya nyata yang utama dan pertama adalah melalui perumusan regulasi. Berbagai regulasi dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan desa hendaknya bersinergi. Kondisi ini diyakini akan melahirkan gerakan semesta berencana untuk memerangi PSP. Jika ini dapat diwujudnyatakan, maka pelan tapi pasti permasalahan sampah plastik dapat diatasi.
Dalam konteks penanganan timbulan sampah PSP di Bali, maka memberdayakan potensi desa adat adalah sebuah keniscayaan. Mengapa harus desa adat? Tidak dapat dimungkiri bahwa eksistensi desa adat di Bali masih sangat kuat. Kekuatan tersebut dikarenakan adanya konsep Tri Hita Karana yang menjadi landasan dalam kehidupan di wilayah desa adat. Hubungan yang harmonis manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa (Parahyangan), manusia dengan manusia lainnya (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan), menjamin kesamaan pikiran dan kesatuan langkah. Situasi dan kondisi ini dapat diakomodasi dan diberdayakan sebagai modal yang kuat untuk merumuskan regulasi tertulis tentang penggunaan PSP di wilayah desa adat. Salah satu bentuk regulasi tertulis yang menjadi acuan krama desa adat dalam mengelola PSP adalah Pararem Sampah Plastik.
Gambar 2. Masyarakat bergotong royong sebagai wujud gerakan bebas sampah plastik sekali pakai (dokumen pribadi)
Pararem Sampah Plastik
Pararem adalah kesepakatan bersama krama desa adat dalam mengelola fenomena yang merupakan pelaksanaan dari awig-awig desa adat. Namun, banyak awig-awig desa adat yang tidak mengakomodasi permasalahan sampah plastik. Padahal, sampah plastik telah menjadi momok bagi kehidupan krama Bali. Sampah plastik disinyalir telah masuk dan mencemari eksistensi parahyangan, pawongan, dan palemahan di wilayah desa adat. Sungguh sebuah fenomena yang tidak dapat dipandang sebelah mata, sehingga perlu segera regulasi dan solusi sebagai antisipasi. Dalam konteks inilah, maka permasalahan plastik sekali pakai relevan dan urgen diakomodasi dalam pararem, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk pararem sampah plastik.
Pararem sampah plastik di desa adat hendaknya disinergikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti, awig-awig desa adat, perda kabupaten, perda provinsi, peraturan pemerintah, dan undang-undang. Sinergi dan harmonisasi perlu dilakukan agar tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Oleh karena itu, komunikasi dan koordinasi harus terus dilakukan baik dengan krama desa adat, pemerintah kabupaten, dan pemerintah provinsi. Jika langkah-langkah itu dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka diyakini akan menghasilkan pararem sampah plastik yang efektif dan efisien, tepat guna dan tepat sasaran.
Kehadiran pararem sampah plastik, juga hendaknya bersinergi dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala. Dalam hal ini, substansi pararem dilandasi oleh terwujudnya harmonisasi konsep parahyangan, pawongan, dan palemahan. Di pihak lain zonasi wilayah desa adat, yang meliputi utama mandala, madya mandala, dan nista mandala harus tegas, jelas, nyata, dan dipelihara sesuai dengan fungsinya. Kawasan suci sebagai utama mandala adalah wujud parahyangan haruslah bebas sampah plastik. Pemanfaatan bahan dan alat upacara sedapat mungkin mengurangi atau bahkan meniadakan sampah plastic. Zona ini harus disepakati, dijaga, dan dipelihara sebagai zona suci yang bebas sampah plastik. Berbagai kegiatan yang dilakukan di zona ini, selalu disertai dengan narasi dan eksekusi sampah plastik.
Gambar 3. Melibatkan peserta didik dalam membersihkan sampah plastik di zona utama mandala (dokumen pribadi)
Di zona madya mandala yang merupakan pemukiman, maka konsep pawongan haruslah dipegang teguh. Harmonisasi hubungan antarkrama Bali akan semakin berkualitas manakala di sekitar pemukimannya terbebas sampah plastik. Setiap krama Bali hendaknya saling mengingatkan dan berbagi dalam kerangka mengupayakan kondisi bebas sampah plastik. Akhirnya, di zona nista mandala yang secara faktual dapat berupa teba, hendaknya diimplementasikan konsep palemahan, yakni harmonisasi krama Bali dengan lingkungan alamnya. Setiap sampah plastik tidak tercecer dan terbuang di halaman rumah, lahan pertanian dan perkebunan. Di setiap jengkal lahan, harus dipastikan bebas sampah plastik. Jika hal ini dapat diwujudnyatakan, maka harmonisasi zona tri mandala dan konsep tri hita karana diyakini dapat mewujud nyata di desa adat.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka narasi eksekusi sampah plastik harus selalu digaungkan oleh seluruh krama desa. Hal ini karena proses produksi pangan, sandang, dan papan dipastikan akan menghasilkan residu, termasuk sampah plastik. Dalam konteks inilah maka membangun kesadaran krama desa untuk mengelola sampah plastik sangat relevan dan signifikan. Krama desa mulai disadarkan untuk mengelola sampah plastik dengan bijaksana. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, diantaranya 1) mengurangi penggunaan bahan-bahan dari palstik, 2) memilih dan memilah sampah plastik dan non plastik, 3) tidak membuang atau membakar sampah plastik secara sembarangan, dan 4) menyerahkan atau mendistribusikan sampah plastik kepada pihak terkait untuk dikelola lebih lanjut. Jika langkah-langkah tersebut dapat dilakukan oleh seluruh krama desa, maka sedikit demi sedikit, tetapi pasti, wilayah desa adat akan terbebas sampah plastik.
Gambar 4. Keterlibatan sekeha teruna teruni (yowana) dalam rangka pembersihan sampah plastik (dokumen pribadi)
Mengelola zona tri mandala agar terbebas dari sampah plastik merupakan upaya nyata implementasi konsep tri hita karana. Jika zona utama mandala bebas sampah plastik, maka diyakini krama desa yang melaksanakan upacara agama merasa nyaman, khusuk, dan damai. Demikian pula, manakala zona madya mandala bebas sampah plastik, maka kebersihan di pekarangan dan telajakan masing-masing mewujud nyata. Kondisi lingkungan yang bersih dan sehat akan melahirkan jiwa yang suci dan damai. Akibatnya, hubungan antarmanusia akan terjalain dengan konsep saling asah, asih asuh, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka. Akhirnya, jika kawasan nista mandala telah terbebas sampah plastik, maka alampun akan memberikan hasil sesuai harapan. Dengan demikian, manakala unsur tri mandala bebas sampah maka secara serta merta implementasi konsep tri hita karana terealisasi, dan akhirnya terwujud kehidupan krama desa adat yang sejahtera dan damai. Sungguh sebuah korelasi positif yang patut dilaksanakan oleh krama Bali untuk memulai yang mulia demi kemuliaan. Semoga.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis