Lenyapnya RSBI-SBI


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012 menyatakan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, bahwa Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Walaupun keputusan itu disertai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Namun, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) lenyap dari muka bumi Indonesia demi hukum.

Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan putusan MK adalah biaya pengelolaan RSBI-SBI yang mahal sehingga mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Pembedaan antara RSBI-SBI dan non RSBI-SBI juga dapat menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Di lain pihak, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI-SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa sesuai dengan amanan Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari keputusan MK tersebut, berikut tulisan tentang pencermatan terhadap keberadaan RSBI/SBI yang penulis susun pada 7 November 2011.  Ijinkan dengan hormat menayangkan kembali sekadar untuk kilas balik.

“Sejak awal aku sudah menduga, bahwa ada sesuatu dibalik RSBI. Ada udang dibalik batu. Batu dibalik, udang dipungut. Begitu banyak sekolah-sekolah mengusulkan diri menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Sampai-sampai pihak Kemdiknas (kini, Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan untuk menyetop kemunculan RSBI. Bahkan, ada upaya untuk mengkaji ulang RSBI yang telah ada. Fenomena itu patut diduga telah terjadi kesalahan prosedur atau sistem pengelolaan RSBI. Ada apa dengan RSBI?
Diskrimanasi pembiayaan telah terjadi dalam dunia pendidikan. Sekolah dengan kategori RSBI lebih leluasa memungut pembiayaan. Sementara itu, sekolah standar harus berhati-hati, bahkan cenderung tidak berani memungut biaya. Kondisi ini persis berlaku untuk ungkapan “si kaya makin kaya, si miskin bertambah miskin”. Akibatnya, sekolah dengan kategori RSBI lebih mudah menjalankan berbagai program peningkatan mutu. Sedangkan sekolah non RSBI terengah-engah dalam pembiayaan kegiatan sekolah. Ketimpangan mutu akan semakin lebar terjadi. Padahal jumlah sekolah dengan kategori non RSBI jauh lebih banyak. Artinya, jumlah siswa juga jauh lebih banyak. Artinya lagi, lebih banyak siswa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan dalam rangka penumbuhkembangan potensi diri. Kalau pendidikan telah mengalami diskriminasi, maka mau dibawa kemana pendidikan kita?
Sudah saatnya melakukan regulasi yang berkeadilan dalam dunia pendidikan. Sekolah adalah tempat menumbuhkembangkan potensi peserta didik. Oleh karena itu memberikan dukungan kepada seluruh sekolah adalah keniscayaan. Dalam konteks inilah maka pemerintah baik pusat maupun daerah harus berpihak kepada pendidikan bukan kepada kategori sekolah. Memperhatikan yang kurang baik menjadi lebih baik adalah tindakan mulia. Jangan lagi ada pembiaran penurunan pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah. Generasi penerus di masa datang harus lebih baik. Sehingga pendidikan adalah untuk pendidikan dan pendidikan untuk semua”.

Dengan demikian, mengelola pendidikan hendaknya bebas dari kepentingan. Baik kepentingan ekonomi maupun politik. Tersebab oleh itulah maka kualitas pendidikan mengalami kemunduran dan kehancuran. Pendidikan yang harus menawarkan dan menghadirkan idialisme, sikap kritis, objektif, jujur, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, harus kalah, tenggelam dan lenyap oleh komersialisasi dan politisasi pendidikan. Oleh karena itu, saatnya untuk mengembalikan tujuan mulia pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Memulai yang mulia demi memuliakan generasi bangsa adalah kemuliaan. Salah satu strategi efektif dan efisien yang dapat dilakukan adalah dengan mengelola pendidikan secara proporsional dan profesional dengan rasa pelayanan yang tulus dan ikhlas. Sekali lagi, melayani generasi masa depan bangsa secara tulus dan ikhlas tanpa kepura-puraan. Semoga.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis