Model Siklus Belajar (Learning Cycle)

MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)
Oleh: Gede Putra Adnyana

Model siklus belajar (Learning Cycle) merupakan salah satu strategi mengajar yang menerapkan model konstruktivis (Herron, 1988 dalam Dahar, 1988: 197). Menurut paradigma konstruktivistik, belajar merupakan proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Oleh karena itu, belajar adalah kegiatan aktif pebelajar untuk membangun pengetahuannya, dimana pebelajar sendiri yang bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Pebelajar sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna (Santyasa, 2004). Dengan demikian ada upaya optimalisasi pengalaman belajar siswa melalui penerapan model siklus belajar.
Berdasarkan kerucut pengalaman Edgar Dale, bahwa pengalaman yang paling tinggi nilainya adalah direct purposeful experience, yaitu pengalaman yang diperoleh dari hasil kontak langsung dengan lingkungan, objek, binatang, manusia dan sebagainya, dengan cara melakukan perbuatan langsung (Ali, 2000: 90). Sedangkan verbal symbol yang diperoleh melalui penuturan dengan kata-kata merupakan pengalaman belajar yang paling rendah tingkatannya. Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat memberikan pengalaman yang lebih berarti bagi siswa, maka perlu dirancang model pembelajaran yang dapat membawa siswa kepada pengalaman yang lebih konkrit. Hal ini, karena setiap siswa mempunyai cara yang optimal dalam mempelajari informasi tertentu. (DePorter dan M. Hernacki, 2002: 110). Beberapa siswa perlu diberikan cara-cara yang lain, yang berbeda dengan metode mengajar yang pada umumnya disajikan. Oleh karena itu guru dituntut dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir, daya analisis, dan hasil belajar siswa. Salah satu keterampilan berpikir yang signifikan ditumbuhkembangkan dalam konteks pembelajaran di sekolah adalah keterampilan berpikir kritis. Peningkatan keterampilan berpikir kritis sangat bersinergi dengan kemampuan pemahaman konsep siswa terhadap materi-materi pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka model siklus belajar relevan diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Model siklus belajar pertama kali dikembangkan oleh Robert Karplus dari Universitas California, Barkley tahun 1970-an. Karplus mengidentifikasi adanya tiga fase yang digunakan dalam model pembelajaran ini yaitu preliminary exploration, invention, dan discovery. Berkaitan dengan tiga fase dalam learning cycle, Charles Barman dan Marvin Tolman menggunakan istilah exploration, concept introduction, dan concept application. Joseph Abruscato menggunakan istilah exploration, concept acquisition, dan concept application. Sedangkan Edmund Marek menggunakan istilah exploration, term introduction, dan concept application (Dasna, 1997; Christie, 2002 dalam Dasna dan Sutrisno, 2004). Walaupun disebutkan dengan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai makna yang sama. Bahkan, model siklus belajar yang terdiri dari tiga fase tersebut selanjutnya dikembangkan dan diperinci kembali sehingga muncullah model siklus belajar lima fase (5E) yang meliputi: engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation (Trowbridge dan Bybee, 1996; Rahayu, 2001; dalam Dasna dan Sutrisno, 2004).
Oleh karena model siklus belajar adalah suatu model pembelajaran yang dilandasi oleh paradigma konstruktivistik, maka mengajar merupakan proses untuk mengubah gagasan-gagasan yang telah dimiliki peserta didik. Model siklus belajar adalah model pembelajaran yang dilaksanakan dengan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Kegiatan pembelajarannya dilakukan baik secara individual maupun berkelompok. Namun, secara umum langkah-langkah pembelajarannya, meliputi 1) menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal, untuk membawa siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki (fase eksplorasi), 2) mendiskusikan konsep-konsep yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki (fase pengenalan konsep), dan 3) menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk penyelidikan lebih lanjut (fase aplikasi konsep). Implementasi ketiga fase pembelajaran pada siklus belajar tersebut, berpotensi untuk melibatkan lebih banyak indera siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran yang melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu indera saja. Jika permasalahan telah terdefinisikan secara matematis dalam suatu pembelajaran, maka perlu divisualisasikan atau digambarkan secara komprehensip. (Dryden dan Jeannette, 2002: 195). Akibatnya, kemampuan daya analisis siswa berkembang, sehingga akan memunculkan kreativitas siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu cara saja.
Pada fase eksplorasi, siswa terlibat secara aktif untuk mengeksplorasi objek, peristiwa atau situasi menarik melalui pengamatan (observasi) atau penggunaan panca indera. Melalui kegiatan dalan fase ini, siswa diharapkan mampu menetapkan hubungan-hubungan, mengamati pola, mengidentifikasi variabel dan bertanya tentang suatu peristiwa. Tujuan dari fase eksplorasi ini adalah melibatkan siswa secara aktif dalam suatu kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, motivasi untuk belajar, berinteraksi dengan teman dan guru serta meningkatkan komunikasi yang bermakna dalam mengembangkan konsep tertentu (Dasna dan Sutrisno, 2004). Serangkaian kegiatan belajar yang dapat dilakukan siswa pada fase eksplorasi, seperti: melakukan pengamatan (observasi), membaca uraian, membaca dan menganalisa artikel, membaca tabel dan berdiskusi
Pada fase pengenalan konsep, siswa diberi paparan untuk memperkenalkan konsep inti pelajaran yang dikaitkan langsung dengan fase eksplorasi. Dalam fase ini guru membimbing siswa untuk mempresentasikan data yang telah diperoleh pada fase eksplorasi. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mendapatkan penjelasan tentang konsep yang ditemukan dan memperoleh informasi yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari. Berbagai kegiatan pembelajaran dapat digunakan dalam fase ini seperti: penggunaan bacaan kutipan dari buku teks, contoh soal, dan model pengayaan lain untuk memperjelas konsep yang telah ditemukan sebelumnya. Uraian pengayaan diarahkan untuk menyamakan presepsi, definisi atau hubungan antar konsep (Dasna dan Sutrisno, 2004).
Sedangkan pada fase penerapan konsep, kepada siswa diberi kesempatan untuk menerapkan konsep yang dipelajari dalam situasi baru serta memahami hubungan antara konsep yang dipelajari dengan konsep-konsep lain. Siswa diberi kegiatan yang dapat memperkuat dan memperluas konsep yang telah dipelajari. Kegiatan ini dapat berupa pemberian masalah dan proyek (penelitian) yang dikembangkan dari dua kegiatan sebelumnya. Pada kegiatan ini, diharapkan adanya penerapan konsep yang telah dipelajari siswa dalam kehidupan sehari-hari (Dasna dan Sutrisno, 2004). Serangkaian kegiatan belajar yang dapat dilakukan siswa untuk menerapkan konsep yang dipelajari dalam situasi baru, seperti: memecahkan masalah, melakukan percobaan, dan menganalisis masalah yang terdapat di dalam artikel.
Dengan demikian, proses pembelajaran dengan penerapan model siklus belajar, adalah fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Menurut Lozanov (1978), sampai sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, 2002: 3). Ini berarti, guru diharapkan dapat mengarahkan perhatian siswa ke dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Untuk itu membangun ikatan emosianal guru dan siswa, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, menyingkirkan ancaman, dan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar (aktivitas belajar tinggi), jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, 2002: 23-24)
Menurut Lawson (1988), terdapat tiga macam siklus belajar, yakni deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif (Dahar, 1988: 198). Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif menghendaki pola-pola deskriptif, seperti seriasi, klasifikasi, dan konservasi. Siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi, seperti mengendalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotetis-deduktif. Sedangkan siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediet, yakni penggabungan antara pola-pola deskriptif dan tingkat tinggi.
Dalam siklus belajar deskritif, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus, dan ini merupakan fase eksplorasi. Guru memberi nama pada pola tersebut, dimana kegiatan ini termasuk fase pengenalan konsep. Selanjutnya, pola tersebut ditentukan dalam konteks-konteks lain yang merupakan fase aplikasi konsep. Bentuk siklus belajar deskriptif hanya memberikan sebatas apa yang diamati tanpa usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatannya (Dahar, 1988: 199).
Dalam siklus belajar empiris-induktif, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus, yang merupakan fase eksplorasi. Selanjutnya, para siswa mengemukakan sebab-sebab terjadinya pola tersebut, sehingga diperlukan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru, dan ini merupakan fase pengenalan konsep. Dengan bimbingan guru, para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk mengetahui apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan sesuai dengan data dan fenomena lain yang dikenal, dan ini merupakan fase aplikasi konsep. Dengan demikian dalam siklus belajar empiris-induktif, para siswa melakukan pengamatan secara deskriptif, mengemukakan sebab dan menguji sebab-sebab tersebut (Dahar, 1988: 199).
Dalam siklus belajar hipotesis-deduktif, pembelajaran dimulai dengan suatu pertanyaan sebab, kemudian para siswa merumuskan jawaban-jawaban atau hipotesis-hipotesis yang mungkin. Selanjutnya, para siswa menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis tersebut dan merencanakan dan melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hoptesis, dimana kegiatan ini termasuk fase eksplorasi. Analisis hasil eksperimen menyebabkan hipotesis ditolak atau diterima sehingga konsep-konsep dapat diperkenalkan, dan ini merupakan fase pengenalan konsep. Akhirnya, dilakukan penerapan konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan pada situasi-situasi lain, dimana kegiatan ini termasuk fase aplikasi konsep.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dibuat sintaks model siklus belajar pada berbagai tipe. Secara umum sintaks model siklus belajar yang menunjukkan tujuan dan aktivitas pembelajaran, disajikan pada tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2 Sintaks Model Siklus Belajar
FASE
TUJUAN
AKTIVITAS PEMBELAJARAN
Eksplorasi
Tujuan:
1.    Mengetahui pengetahuan awal
2.    Menumbuhkan rasa ingin tahu
3.    Menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar
4.    Mengidentifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki
1.   Siswa belajar melalui aksi dan reaksi dalam situasi baru
2.   Menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal
3.   Memberikan gagasan yang dapat menimbulkan perdebatan dan analisis
4.   Mengeksplorasi objek/peristiwa berupa gambar/tabel/artikel
5.   Melakukan percobaan untuk mengeksplorasi hubungan
6.   Menjawab pertanyaan-pertanyaan pada LKS
7.   Menelaah dan mendiskusikan uraian materi
Pengenalan Konsep
Tujuan:
1.   Menjelaskan konsep yang ditemukan siswa
2.  Menyamakan persepsi
3.  Memperluas hubungan antar konsep
1.  Memperkenalkan suatu konsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki
2. Mendiskusikan konsep dalam konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi
3. Mendistribusikan/mengkaji bahan kajian/bacaan
4. Memberikan penjelasan tentang konsep
5. Mempresentasikan/mendiskusikan hasil percobaan
Aplikasi Konsep
Tujuan:
1.   Menjelaskan konsep yang ditemukan siswa
2.  menggunakan konsep-konsep untuk penyelidikan lebih lanjut
1.   Melakukan percobaan dan mengerjakan LKS
2.   Membaca/mengkaji skema
3.   Membuat karya tulis
 (Lawson, 1988 dalam Dahar, 1988: 199)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis