Pasal? Anda Jual, Kami Beli

Setiap fenomena jual beli, ujung-ujungnya mencari keuntungan. Apakah itu jual beli pulsa, Apalagi jual beli pasal dalam UU, seperti yang diungkapkan Mahfud MD (Ketua MK). Ahmad Rubai (Fraksi PAN DPR RI) menyatakan dirinya sependapat dengan Mahfud MD bahwa praktek jual beli pasal UU di DPR memang terjadi. Bukan isapan jempol atau sekadar opini dalam sebuah kuliah. Ah, sungguh tauladan yang sangat menyakiti rasa keadilan masyarakat.
Anggota DPR yang terhormat, semestinya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Begitu banyak perilaku menyimpang dipertontonkan oleh beliau-beliau yang terhormat, diantaranya perkelahian, tidur, bolos, dan debat kusir dalam sidang, bergelimang fasilitas, seperti rumah dan mobil mewah, sampai pada tindak korupsi berjamaah. Aduh, sungguh-sungguh menghancurkan rasa keadilan masyarakat. Tidak salah jika mantan presiden RI, Gus Dur, mengatakan anggota DPR RI seperti taman kanak-kanak.
Terlepas dari semua itu, agaknya sistem rekrutmen anggota DPR, baik di kabupaten, provinsi, apalagi DPR RI, harus ditata ulang. Selama, ini sistem perekrutan cenderung berbasis uang dan massa. Siapa yang punya uang banyak, dipastikan dapat mengumpulkan suara banyak, akhirnya lolos menjadi calon DPR. Walaupun proses pengumpulan pendukung tidak dilakukan secara proporsional dan profesional. Bahkan, cenderung menghalalkan segala cara, baik cara intimidasi, kekerasan, dan jual beli suara. Wih, lengkap sudah fenomena jual beli itu. Jual beli pulsa, pasal, bahkan suara. Akibatnya, semakin hari, semakin kacau sistem perpolitikan Indonesia. Apa yang mau diwariskan kepada generasi mendatang?
Kembali ke sistem rekrutmen anggota DPR. Dalam hal ini, hendaknya ada proses seleksi baik menyangkut kemampuan intelektual maupun emosi. Pendek kata, anggota DPR paling sedikit memiliki empat kompetensi, yaitu akademik, sosial, kepribadian, dan profesional. Oleh karena itu mekanisme perekrutan hendaknya melalui seleksi administrasi, uji kemampuan intelektual dan emosional, wawancara, dan uji publik. Dalam hal ini, uji publik dapat dilakukan melalui debat terbuka yang dimediasi/difasilitasi oleh media massa. Atau, membuat tulisan dalam bentuk esai/opini tentang komitmennya menjadi wakil rakyat. Hal ini telah dilaksanakan manakala terjadi seleksi pimpinan KPK. Sistem ini dapat diadopsi dalam kerangka perekrutan anggota dewan yang terhormat. Semua sistem tersebut haruslah dipayungi dengan peraturan perundang-undangan, sehingga penyimpangan yang terjadi dapat dikontrol dan dikenakan sanksi.
Sebutan untuk para DPR adalah dewan yang terhormat. Oleh karena itu, mereka hendaknya terhormat baik secara akademis maupun nonakademis. Jangan lagi ada pikiran, perkataan, dan perbuatan dewan  yang terhormat mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. Sikap pragmatis, opurtunis, apalagi homo homini lupus, harus musnah di kalangan dewan terhormat. Jika ini dapat diwujudnyatakan, diyakini tidak ada lagi jual beli pasal, apalagi tindak pidana korupsi. Masyarakat dapat bekerja, tersenyum, dan menikmati hasil kerjanya dengan adil dan merata. Semoga.

Tulisan lainnya:

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis