Politisi Berbasis Massa dan Uang Berpotensi Rakus

Oleh Gede Putra Adnyana
(Tulisan ini telah di muat pada media Bali Post, 19 Maret 2012)

Politisi adalah penggerak partai politik. Partai politik merupakan pilar demokrasi. Baik buruknya implementasi demokrasi bergantung pada permainan partai politik yang digerakkan politisi. Dengan demikian politisi merupakan pengendali demokrasi. Demokrasi adalah pro dan kontra, menang dan kalah, hitam dan putih, namun menawarkan keindahan. Oleh karena itu demokrasi hendaknya dipandang sebagai dinamika perbedaan pandangan yang memberikan solusi konflik kehidupan demi kesejahteraan dan perdamaian. Nah, bagaimana kalau sebagian besar politisi tidak ngeh dengan roh demokrasi itu?

Politisi yang tidak menghargai perbedaan dalam bingkai demokrasi adalah politisi picik. Politisi ini disinyalir sebagai politisi opurtunis, pragmatis, bahkan cenderung fundamentalis. Ini berbahaya dalam sistem demokrasi Indonesia yang di dalamnya ada masyarakat plural dan multikultur. Politisi dengan sifat dan sikap tersebut akan menghancurkan keindahan dan kedamaian demokrasi. Karena, akan menjadikan kepentingan individual dan golongan di atas segala-galanya. Kepentingan kelompok atau partai mendominasi kepentingan umum. Politisi ini hanya akan menawarkan permusuhan, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Pendek kata, politisi picik akan menghancurkan tatanan demokrasi Indonesia yang bermuara pada keroposnya kemuliaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam konteks inilah tanggung jawab terbesar berada di tangan partai politik. Tanggung jawab itu dapat diwujudnyatakan dalam bentuk perekrutan kader partai politik. Namun, terdapat sinyalemen bahwa sistem perekrutan kader partai politik saat ini, berbasis massa dan uang. Siapa yang mampu mengumpulkan massa dalam jumlah besar maka digadang-gadang sebagai kader potensial. Partai politik luput, lupa, atau mungkin juga tidak mau tahu bagaimana proses pengumpulan massa dilakukan. Ini patut dicermati oleh semua partai politik, agar tidak terjadi kekeliruan dalam perekrutan kader. Karena, kekeliruan ini berpotensi menghancurkan tatanan demokrasi. Ada dugaan bahwa proses pengumpulan massa dilakukan dengan tidak cerdas. Intimidasi, teror, dan bahkan money politic disinyalir menjadi senjata ampuh mengumpulkan massa. Ada uang ada massa, tak ada uang massa melayang. Uang lebih berkuasa daripada hati nurani dan intelektualitas. Tak peduli, apakah uang itu halal atau haram. Muara dari semua ini adalah hancurnya pendidikan politik pada akar rumput.


Adalah keniscayaan, di saat kebutuhan primer belum terpenuhi maka uang adalah raja yang mampu menghancurkan idealisme. Uang adalah senjata pamungkas untuk mengumpulkan massa. Dengan demikian, uang dan massa menjadi bagian tak terpisahkan dari perebutan kekuasaan. Tidak ada uang, tak ada massa serta tidak ada uang dan massa maka tak ada kekuasaan. Akhirnya, ketika berkuasa maka muncullah pemimpin rakus yang tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Muncullah pemimpin yang mencari peluang agar pengorbanan yang dikeluarkan saat proses perebutan kekuasaan segera pulih dan bahkan berlipat ganda. Pendek kata, berlaku prinsip gali lubang tutup lubang, pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Sekali lagi, tidak dapat dibendung akan muncul pemimpin rakus, pemimpin tak punya hati nurani, pemimpin tak berpihak kepada rakyat, dan pemimpin yang menyuburkan kemelaratan. Muara dari semua ini, dipastikan akan menghancurkan tujuan awal pembentukan negara untuk muwujudkan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.


Regulasi Perundang-undangan

Mencermati fenomena tersebut, maka melakukan regulasi dan reformasi adalah keniscayaan. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan yaitu pembenahan melalui regulasi peraturan perundang-undangan partai politik. Hendaknya dalam peraturan partai politik, dihadirkan sistem rekrutmen kader partai politik melalui uji publik. Kader partai dengan difasilitasi partai politik diberi kesempatan mengumandangkan idealismenya di depan publik. Mekanisme ini dapat dilakukan melalui media cetak atau elektronik, atau juga bertatap muka langsung dengan masyarakat. Akan lebih cerdas jika dilakukan dalam forum seminar, debat, dialog publik, atau diskusi panel. Lalu, publik diberi kesempatan menguji melalui forum diskusi atau tanya jawab. Dengan sistem sederhana ini, maka kompetensi kader secara intelektual akan diuji.

Melalui sistem ini akan diuji kecerdasan kader dari berbagai aspek, baik intelektual, mental, maupun spiritualnya, sehingga tidak hanya berbasiskan massa dan uang belaka. Publik pun akan dicerdaskan dalam menentukan pilihan demi terwujudnya kader partai politik yang proporsional dan profesional. Akhirnya, pendidikan politik menyentuh kepada akar rumput. Kondisi ini diyakini mampu mencerdaskan kehidupan berpolitik masyarakat.


Perubahan paradigma perekrutan politisi oleh partai politik adalah keniscayaan. Perubahan paradigma ini diyakini lebih banyak manfaat tinimbang mudarat. Massa dan uang adalah penting, tetapi lebih penting mencerdaskan kehidupan bangsa demi masa depan. Karena, bangsa ini adalah titipan anak cucu, bukan warisan untuk dinikmati sendiri. Partai politik merupakan kunci utama pilar demokrasi dan paling bertanggung jawab terhadap perjalanan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik harus konsisten dan konsekuen menata demokrasi. Sehingga, demokrasi hadir dengan menghargai perbedaan demi keindahan dan kedamaian dalam mewujudkan cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Penulis, alumnus Pascasarjana Undiksha Singaraja


Tulisan ini juga dimuat pada:

http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=1&id=6350

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis