ADA APA DENGAN BIDIK MISI?
Oleh: Gede Putra Adnyana
Tahun 2010 pemerintah meluncurkan program beasiswa Bidik Misi. Beasiswa ini diberikan kepada mahasiswa atau calon mahasiswa dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu dan berprestasi, baik di bidang akademik/kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler. Oleh karena tahun 2010 merupakan tahun pertama maka belum banyak mendapat persoalan. Bahkan, beasiswa Bidik Misi yang dikhususkan untuk mahasiswa baru dari keluarga tidak mampu pada 2010 lalu masih belum terserap semua. Dari 20.000 beasiswa Bidik Misi yang tersedia, sekitar 300 beasiswa tidak tersalurkan kepada mahasiswa miskin (Kompas.com, 19/1/2011). Namun, perjalanan beasiswa Bidik Misi tahun 2011 patut dikaji, karena menuai berbagai persoalan. Program beasiswa Bidik Misi merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Tetapi, jika penyalurannya tidak tepat sasaran, maka dapat menimbulkan kecemburuan sosial bahkan sakit hati dari sebagian calon mahasiswa miskin yang tidak dapat menerima hak-haknya.
Pada tahun 2010, hampir semua PTN mengumumkan penerimaan mahasiswa baru bersamaan dengan Bidik Misi. Sehingga pada saat mendaftar ulang sudah ada kepastian sebagai penerima beasiswa Bidik Misi. Namun, pada tahun 2011 hampir semua PTN mengumumkan penerimaan beasiswa Bidik Misi setelah pengumuman jalur undangan. Akibatnya, banyak di antara pelamar bidik misi yang ragu-ragu untuk mendaftar ulang karena tidak ada kepastian akan mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Bahkan ada sebagian PTN yang mewajibkan mendaftar ulang terlebih dahulu sebelum pengumuman penerimaan Bidik Misi. Dengan berbagai upaya terpaksa mahasiswa tersebut meminjam uang untuk mendaftar ulang. Namun, setelah pengumuman beasiswa bidik misi, ternyata calon mahasiswa itu tidak mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Gagallah calon mahasiswa dari keluarga miskin itu menjadi mahasiswa. Tidak berlebihan jika dikatakan sudah jatuh tertimpa tangga. Mengapa tidak? Gagal menjadi mahasiswa karena ditolak permohonannya mendapatkan bidik misi, serta ditambah harus menanggung utang yang dipinjam untuk pendaftaran ulang. Oleh karena itu, adalah sangat bijaksana jika pengumuman penerimaan bidik misi berbarengan dengan penerimaan mahasiswa baru, sehingga ada kepastian untuk melanjutkan atau tidak.
Fakta di lapangan mengindikasikan, sebagian besar PTN tidak melakukan observasi terhadap calon pelamar beasiswa Bidik Misi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan pengambilan keputusan yang keliru untuk menentukan calon mahasiswa yang berhak menerima beasiswa Bidik Misi. Adanya fenomena penganuliran penerima bidik misi seperti yang terjadi di Universitas Negeri Malang (UM), Jawa Timur, setelah diketahui memalsukan data mengaku sebagai keluarga miskin, mengindikasikan tidak adanya seleksi yang akurat. Bahkan, ditemukan bahwa ada guru bimbingan dan konseling (BK) mengirimkan data yang tidak sebenarnya (Kompas.com, 1/7/2011). Kondisi ini tentu menghasilkan ketidakadilan yang akhirnya bermuara kepada kecemburuan sosial. Oleh karena itu perlu kiranya ada observasi yang sungguh-sungguh dari PTN serta menghadirkan kejujuran dan keadilan dari pihak sekolah.
Berdasarkan hasil pencermatan data penerima bidik misi dari beberapa PTN, disinyalir ada unsur kolusi dan nepotisme. Hal ini terlihat dari adanya kasus di mana calon mahasiswa miskin diterima di PTN tanpa bidik misi, sebaliknya calon mahasisiwa dari keluarga kaya diterima dengan bidik misi. Setelah dilakukan penelusuran kasar, ternyata calon mahasiswa dari keluarga kaya, memiliki koneksi di PTN tersebut. Kasus ini tentu menghancurkan rasa keadilan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu, serta dapat dijadikan acuan untuk melakukan penyempurnaan. Potensi kolusi dan nepotisme ternyata melekat pada program beasiswa Bidik Misi. Adalah preseden buruk manakala dunia pendidikan dirasuki kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Disinyalir juga sebagian PTN setengah hati menyelenggarakan program beasiswa Bidik Misi. Hal ini karena besarnya beasiswa Bidik Misi tidak sesuai dengan biaya penyelenggaraan pendidikan di PTN. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggap beasiswa yang menjadi salah satu Program 100 Hari Menteri Pendidikan Nasional itu justru membebani perguruan tinggi negeri (PTN) karena jumlahnya kurang dari biaya yang dibutuhkan. Untuk mengejar kuota beasiswa yang telah ditetapkan itu, PTN terpaksa menambah dengan dana sendiri atau menggabungkan Beasiswa Bidik Misi dengan beasiswa lain (Kompas.com, 26/1/2010). Akibatnya, muncul berbagai upaya yang dilakukan PTN untuk mengurangi beban tersebut dengan mengenakan berbagai biaya tambahan.Oleh karena itu patut dilakukan kajian ulang terhadap besaran beasiswa Bidik Misi, sehingga PTN tidak merasa dibebani, serta mahasiswa dari golongan kurang mampu dapat lebih fokus belajar.
Tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis