Perkara Tenaga Honorer Jadi PNS

PERKARA PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI PNS
Oleh: Gede Putra Adnyana

Salah satu agenda yang dibahas dalam rapat kabinet terbatas bidang polhukkam Selasa (2/8/2011), yaitu rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS (pegawai negeri sipil) dan RPP tentang pegawai tidak tetap (Bali Post, 3/8/2011). Momentum ini merupakan angin segar bagi sebagian pencari kerja karena membuka peluang menjadi abdi negara dan abdi masyarakat. Akan tetapi, jika momentum ini tidak dikelola secara proporsional dan profesional berpotensi merangsang badai di tengah masyarakat. Agar angin segar lebih dominan hadir ketimbang badai, maka pengelolaan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dan pegawai tidak tetap, harus dilaksanakan dengan baik dan benar.

Paling sedikit terdapat tiga hal yang patut dicermati berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, adanya analisis kebutuhan pegawai yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dipandang penting agar tidak terjadi jumlah pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena, kekurangan pegawai ataupun kelebihan pegawai menyebabkan kinerja tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu diperlukan kejujuran dari pemerintah daerah (pihak yang relevan) untuk menghadirkan data kepegawaian yang akurat. Berbagai kepentingan baik politik, sosial, maupun ekonomi harus direduksi menjadi sekecil mungkin. Karena, pengaruh politik, sosial, dan ekonomi berpotensi menimbulkan pembiasan data akibat konflik kepentingan. Langkah inilah salah satu alternatif menghadirkan kejujuran yang semakin sulit ditemukan saat ini.

Kedua, sistem rekrutmen atau pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dan pegawai tidak tetap haruslah transparan, objektif, jujur, adil, dan akuntabel. Karena, sistem perekrutan PNS selama ini disinyalir penuh dengan ketidakjujuran. Nuansa KKN masih sangat terasa. Kondisi ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kompetensi PNS yang dinyatakan lulus. Begitu banyak kasus, di mana calon pencari PNS yang memiliki kompetensi dan pengalaman sangat meyakinkan dinyatakan tidak lulus seleksi. Dan sebaliknya, banyak calon PNS yang lulus justru tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Misalnya, sarjana peternakan dinyakatakan lulus sebagai tenaga pendidik (guru). Kondisi ini tentu sangat menyakiti rasa keadilan calon PNS dari lulusan sarjana pendidikan. Oleh karena itu sistem rekrutmen harus dilakukan secara jujur dan adil.

Ketiga, penanganan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dan pegawai tidak tetap dilaksanakan oleh tim independen. Di mana tim ini berasal dari kalangan akademisi atau profesional. Keberadaan tim harus bebas dari konflik kepentingan. Harus ada tanggung jawab moral bagi tim independen untuk menghadirkan pelayan masyarakat yang berkompeten, berdedikasi, dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Lahirnya para koruptor dari kalangan PNS, disinyalir terjadi karena sistem perekrutan yang bernuansa KKN. Berbagai tes, mulai dari tes potensi akademis, tes psikologis, atau tes skolastik penuh dengan kecurangan, sehingga hasilnya pun penuh ketidakjujuran. Begitu kentara uang menjadi raja dan penentu kelulusan. Tak ada uang, tak ada jaminan lulus seleksi. Ada uang, sejelek apapun calon itu, lebih berpeluang lulus menjadi PNS. Sungguh fenomena yang berpotensi menghancurkan martabat bangsa. Akibatnya, lahirlah PNS rekayasa yang siap menghancurkan bangsa dan masyarakat sendiri. Oleh karena itu peran, fungsi, dan manfaat tim independen dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dan pegawai tidak tetap sangat relevan dan signifikan.

Jika ketiga langkah sederhana itu dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, niscaya akan lahir PNS yang komit melayani masyarakat. Kelahiran PNS yang cerdas, jujur, kompeten, berdedikasi, dan bertanggung jawab merupakan mata air untuk membuka mata hati seluruh bangsa Indonesia dalam menghadirkan kesejahteraan.


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis