Oleh: Gede Putra Adnyana
“Sektor Pendidikan Paling Banyak Dikorupsi”, satu informasi yang dilansir situs voaindonesia. Ternyata judul itu substansi dari pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang disampaiakan Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri kepada VOA. Fenomena ini patut dicermati saluruh komponen bangsa. Karena, pendidikan adalah salah satu pilar berdiri kokohnya bangsa diantara bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan bangsa yang berkualitas mampu menopang berdirinya bangsa dengan kokoh dan bermartabat dipercaturan dunia. Lalu, bagaimana kalau pilar ini mulai rapuh digerogoti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan? Jika hal itu terjadi, dapat diduga bangsa akan jatuh, terpuruk, dan digilas oleh bangsa lain. Suatu keadaan yang menakutkan bahkan mengerikan. Oleh karena itu, saatnya untuk memulai yang mulia memuliakan dunia pendidikan dengan mereduksi dan bahkan menghapus habis korupsi sektor pendidikan.
Tidak dapat dimungkiri, pendidikan sebagai salah satu produsen pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap mulia generasi bangsa. Sulit dibayangkan kehadiran bangsa yang kompetitif tanpa pendidikan berkualitas. Oleh karena itu tidak salah jika pemerintah pada tahun 2011 menganggarkan dana sebesar Rp248 trilliun untuk sektor pendidikan. Namun, apa yang bakal terjadi manakala pengelolaan dana yang amat besar tersebut dikelola oleh sumber daya manusia (SDM) yang tidak proporsional dan profesional? Patut diduga akan terjadi kesalahan pengelolaan sektor pendidikan.
Penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang amat mudah terjadi, akibat besarnya dana yang dikelola serta luasnya jangkauan distribusi. Rekayasa, mark up, manipulasi, dan korupsi berpeluang besar dilakukan. Berbagai peluang tindak korupsi dan kejahatan lainnya membayangi pengelolaan sektor pendidikan. Godaan uang terkadang mengakibatkan idealisme dan sikap kritis yang semestinya menjadi orientasi sektor pendidikan mulai keropos dan hancur oleh pragmatisme dan opurtunisme. Muncullah SDM yang tidak tulus dan ikhlas mengelola pendidikan. Mengapa fenomena ini terjadi? Salah satu penyebabnya karena tingkat kesejahteraan pekerja pendidikan masih rendah. Ketika kesejahteraan rendah, sementara tuntutan ekonomi meningkat, maka sangat mudah memunculkan perilaku ketidakjujuran. Mereka berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan, peluang dalam tantangan, yang tidak jarang harus melanggar peraturan perundang-undangan.
ICW juga menyatakan bahwa korupsi sektor pendidikan banyak dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah Daerah hingga pejabat yang berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini mengindikasikan bahwa korupsi sektor pendidikan sebagian dilakukan para pejabat negara. Di lain pihak jabatan strategis penentu kebijakan pendidikan sebagian besar merupakan jabatan politik dan amat sedikit yang merupakan jabatan karier. Inilah perselingkuhan pejabat negara dan partai politik yang menyuburkan korupsi. Akibatnya, maju mundurnya pendidikan sangat dipengaruhi hiruk pikuk dinamika politik. Jabatan politik sangat bersifat politis. Artinya, kepentingan politik dipaksanakan bersinergi dengan kepentingan pendidikan. Walaupun terkadang berbenturan dengan nilai-nilai luhur dunia pendidikan, seperti jujur, kritis, transparan, dan bertanggung jawab.
Dalam partai politik berlaku ungkapan, tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Kepentingan adalah raja. Tidak jarang kepentingan golongan atau partai menghancurkan kepentingan umum. Kondisi ini berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku mereka saat menjabat. Mereka berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Pendek kata, berlaku prinsip gali lubang, tutup lubang, aji mumpung, dan pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Ini faktor pemicu dan pemacu korupsi yang merajalela di sektor pendidikan.
Dana besar disertai pejabat pragmatis dan opurtunis, disinyalir akan menyuburkan korupsi. Ketika korupsi dilakukan, dan tidak diketahui pihak-pihak lain, maka korupsi semakin nikmat dan akan terus dilakukan. Akhirnya, muncullah efek domino korupsi. Artinya, para koruptor akan membentuk jaringan yang rapi atau mafia untuk saling menutupi penyelewengan yang telah dilakukan. Muara dari semua itu adalah munculnya fenomena korupsi berjamaah. Inilah faktor penyebab sulitnya korupsi dibongkar dalam sektor pendidikan.
Adalah sangat bijaksana memberikan solusi terhadap fenomena korupsi sektor pendidikan tinimbang mencari siapa yang salah dan bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut. Korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sangat tidak cerdas jika mengumandangkan pernyataan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Pernyataan ini dapat dijadikan sebagai kambing hitam dan bahkan kerbau hitam oleh para koruptor. Ini tidak baik dalam kerangka pemberantasan korupsi secara paripurna.
Langkah pertama dan utama memulai pemberantasan korupsi sektor pendidikan yaitu dengan meningkatkan kualitas SDM pengelola pendidikan. Kualitas SDM diyakini berpengaruh langsung terhadap kualitas kinerjanya. Oleh karena itu, sistem perekrutan pekerja pendidikan harus dibenahi. Selama ini, ada sinyalemen bahwa sistem rekrutmen pekerja dunia pendidikan tidak berlansung dengan jujur, objektif, adil, dan transparan. Berbagai kecurangan mewarnai setiap perekrutan, seperti penggunaan uang pelicin, permainan kerabat pejabat, dan bahkan manipulasi hasil tes. Bau ketidakjujuran ini sangat keras tercium, tetapi sulit dibuktikan sehingga hampir tidak ada yang sampai ke meja hijau. Akibatnya, calon pegawai yang cerdas tersingkir, karena tidak mampu membayar lebih atau melobi para pejabat. Celakanya, calon pegawai dengan kualitas rendah baik dari intelektualitas maupun mentalitas melenggang dengan mulus. Kondisi ini merupakan awal yang buruk untuk meningkatkan kinerja pekerja pendidikan. Bahkan, sangat mudah terpengaruh tindakan melawan aturan, seperti korupsi. Oleh karena itu, pembenahan sistem rekrutmen pekerja pendidikan adalah keniscayaan.
Berkenaan dengan mereduksi korupsi sektor pendidikan, sangat urgen meningkatkan kesejehateraan para pekerja pendidikan. Karena mereka adalah implementator di lapangan. Sebaik apapun perencanaan, jika pelaksananya bobrok, hasilnya dipastikan hancur. Apalagi mereka berhadapan dengan dana besar dan cakupan wilayah yang sangat luas, sehingga rawan penyelewengan. Dengan meningkatkan kesejahteraan, diyakini dapat meningkatkan kinerja dan tanggung jawab mereka sebagai pelayan sektor pendidikan. Mereka bekerja murni untuk kepentingan dunia pendidikan tanpa ada pemikiran memperoleh pendapatan tambahan lain, apalagi yang tidak halal. Akibatnya, korupsi sektor pendidikan dapat direduksi.
Ujung tombak sektor pendidikan di lapangan adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Sumber daya ini hendaknya terus ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas dilakukan dari hulu sampai hilir. Dalam hal ini, dimulai dari sistem penerimaan mahasiswa calon pendidik, kurikulum lembaga pencetak tenaga pendidik yang link dan match dengan kebutuhan, sistem penerimaan calon guru, pembinaan dan pengawasan kinerja pendidik, sistem reward dan punishmet untuk pendidik. Semua harus dilakukan dengan aturan dan mekanisme jelas serta dipayungi hukum yang pasti.
Keberpihakan pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan pendidik melalui sertifikasi guru, patut diapresiasi. Tetapi, hendaknya disadari bahwa pendidikan sangatlah kompleks. Berbagai faktor baik dari dalam maupun luar sektor pendidikan ikut berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Dalam konteks inilah seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah, pihak swasta, tenaga pendidik dan kependidikan, serta masyarakat harus bersinergi membangun pendidikan nasional. Sehingga, pendidikan dapat dinikmati semua demi generasi masa depan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (Penulis: Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng, Bali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis