Oleh: Gede Putra Adnyana
Gemuruh sertifikasi melanda sebagian besar guru. Sertifikasi merupakan salah satu upaya menghadirkan guru profesional melalui peningkatan kesejahteraan. Sejak digulirkannya program sertifikasi guru tahun 2006, berbagai permasalahan mengiringi implementasinya. Mulai dari permasalahan penetapan peserta, portofolio palsu, piagam penghargaan bodong, banyaknya ketidaklulusan dalam pendidikan dan latihan profesi guru, kesulitan pemenuhan 24 jam tatap muka perminggu, pemberkasan data penerima tunjangan profesi guru (TPG) yang berbelit, tersendat-sendatnya pencairan TPG, sampai pada rendahnya hasil uji kompetensi awal (UKA) guru yang diumumkan pertengahan Maret 2012. Lalu, di mana urgensi implementasi sertifikasi dalam kerangka penataan dan pemerataan guru serta peningkatan kualitas pendidikan?
Program keberpihakan pemerintah melalui sertifikasi disambut sangat positif kalangan guru. Dengan menyandang guru tersertifikasi, mereka berhak mendapatkan TPG yang berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan sehingga diharapkan meningkatkan kinerja guru. Oleh karena itu, program sertifikasi guru merupakan tools untuk meningkatkan kualitas guru demi kualitas pendidikan nasional. Tidak salah, jika dalam Rembuk Nasional, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tangga 26 - 28 Februari 2012, merekomendasikan bahwa sertifikasi adalah salah satu upaya meningkatkan kualitas guru, di samping peningkatan kualitas pelaksanaan uji kompetensi, penilaian kinerja, pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan, pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG), serta musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Dengan demikian, fenomena sertifikasi adalah momentum terbaik bagi pemerintah dalam memicu dan memacu kualitas guru serta melaksanakan penataan dan pemerataan guru di daerah.
Penataan dan pemerataan guru dipandang urgen, karena disinyalir saat ini terjadi ketidakmerataan distribusi guru antarsekolah, antara kota dan desa, antarkabupaten, dan antarprovinsi. Dalam konteks inilah diharapkan program sertifikasi menjadi salah satu solusi permasalahan tersebut. Sertifikasi dijadikan sebagai momentum untuk menjangkau yang tidak terjangkau. Kekuatan sertifikasi sebagai tools semakin besar dengan keluarnya peraturan bersama lima menteri, tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil.
Kewajiban melaksanakan tugas pembelajaran 24 jam tatap muka perminggu adalah tuntutan guru tersertifikasi sebagai salah satu syarat dapat menerima TPG. Inilah permasalahan serius di kalangan guru tersertifikasi saat ini. Fakta, di lapangan menunjukkan sebagian guru tersertifikasi, terutama yang bertugas di sekolah perkotaan, kesulitan memenuhi kewajiban itu. Karena, jumlah guru tidak sebanding dengan jumlah jam pelajaran. Akibatnya, banyak guru mencari jam tambahan ke sekolah lain. Bahkan, sampai ke sekolah-sekolah di pelosok desa. Kondisi ini tentu sangat kontra produktif dengan tujuan awal sertifikasi untuk meningkatkan kinerja guru. Bagaimana mungkin seorang guru dapat melaksanakan tugas dengan maksimal, jika mereka mengajar di tempat yang sangat jauh dengan sekolah asalnya atau tempat tinggalnya serta di banyak sekolah. Akibatnya, pemenuhan 24 jam pelajaran tatap muka perminggu nyaris hanya bersifat administrasi, tetapi miskin implementasi.
Dalam konteks inilah, momentum sertifikasi guru yang bersinergi dengan peraturan bersama lima menteri merupakan tools yang ampuh untuk melakukan penataan dan pemerataan guru. Perbedaan rasio jumlah guru dan jam pelajaran yang sangat timpang di perkotaan dan pedesaan harus segera diakhiri. Oleh karena itu analisis kebutuhan guru, termasuk distribusi dan pemerataannya adalah keniscayaan. Kelebihan guru di satu tempat dapat dipindahkan ke tempat lain dalam kerangka penataan dan pemerataan. Guru-guru tersertifikasi karena tuntutan tugas dan kesejahteraan diyakini dapat menerima keputusan penataan dan pemerataan tersebut. Dengan catatan harus dilakukan secara murni dan konsekuen semata-mata untuk kepentingan peningkatan kualitas pendidikan. Kondisi ini, akan meniscayakan mutasi guru di lingkungan kabupaten, lintas kabupaten, dan lintas provinsi. Mutasi dapat dilakukan dari kota ke desa, serta menjangkau sekolah-sekolah yang selama ini tidak terjangkau, luput dan bahkan lupa dari perhatian. Kekurangan guru akibat lokasi di pinggiran jangan lagi terjadi. Lokasi boleh di pinggiran, tetapi perhatian dan prestasi jangan dipinggirkan. Pendek kata, sertifikasi adalah momentum untuk menjangkau yang tidak terjangkau.
Mutasi hendaknya dilaksanakan dengan bijaksana, tidak membabi buta, apalagi disertai kepentingan politik. Mutasi guru dilaksanakan semata-mata untuk kualitas pendidikan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai pertimbangan patut dilakukan, seperti kedekatan dengan tempat kelahiran, usia, jenis kelamin, dan status guru. Penataan dan pemerataan guru diyakini menemui berbagai kendala dan menuai banyak protes. Tetapi, jika dilakukan dengan niat baik, tulus, ikhlas, dan bijaksana maka proses tersebut dapat berjalan baik. Oleh karena itu, penataan dan pemerataan guru hendaknya dilakukan secara gradual, dengan aturan yang jelas.
Kebijakan baru perlu dipikirkan, tatkala penataan dan pemerataan guru telah dilakukan ternyata masih terjadi kekurangan jam mengajar. Dalam hal ini, hendaknya ada ketentuan khusus yang mengatur guru mengajar kurang dari 24 jam tatap muka perminggu. Ketentuan ini diterapkan, jika di sekolah hanya ada satu guru mata pelajaran, sekolah lain tidak menyediakan jam lebih, perpindahan di lingkungan kabupaten, antarkabupaten, dan antarprovinsi tidak memungkinkan dilaksanakan, dan lain-lain. Ketentuan ini akan memberikan kepastian di kalangan guru bahwa apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga ada kenyamanan dalam melayani kepentingan peserta didik.
Seiring dengan implementasi penataan dan pemerataan guru, harus terus dilakukan sosialisasi dan pendekatan persuasif kepada para guru sebagai abdi negara. Bahwa pegawai negeri sipil adalah pelayan publik dan siap melayani sesuai dengan bidang tugasnya kapan saja dan di mana saja. Peningkatan kesejahteraan guru adalah penting. Tetapi lebih penting meningkatkan profesionalisme dan pelayanan guru kepada peserta didik. Pelayanan harus diwujudnyatakan dengan tulus dan ikhlas sesuai kompetensinya. Jika semua ini mampu dilaksanakan, diyakini penataan dan pemerataan guru akan terwujud, yang tidak terjangkau akan terjangkau, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Penulis: Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng dan Alumnus Pascasarjana Undiksha Singaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis