Fenomena Guru Berprestasi

Terdapat kecenderungan bahwa gairah para guru mengikuti seleksi guru berprestasi semakin rendah. Johan Wahyudi (dalam kompasiana.com, 30 Mei 2013), menulis beberapa penyebab fenomena dimaksud, sebagai berikut.

1. Besarnya Pengorbanan
Untuk mengikuti seleksi itu, setiap peserta harus mengirimkan 3 jenis dokumen rangkap 3, yaitu portofolio karya ilmiah, portofolio hasil bimbingan, dan portofolio dokumen pribadi. Bisa dibayangkan, betapa tebalnya dokumen yang disertakan manakala 50 buku harus difotokopi rangkap 3. Berapa rupiah mesti dikeluarkan dan siapa yang harus menanggung? Inilah bukti pengorbanan yang harus dibayar dengan duit cash. Belum lagi pengorbanan nonmateri, seperti lari kesana-kemari guna mengumpulkan semua berkas dan melegalisirnya. Lalu setiap malam nglembur mem-verifikasi dokumen-dokumen itu. Lalu, apa yang akan didapat oleh guru berprestasi itu? Apa yang akan diberikan pimpinan kepadanya? Di sinilah keengganan guru itu muncul. Buat apa susah-susah mengikuti seleksi guru berprestasi sedangkan semua biaya ditanggung guru yang bersangkutan?

2. Sama Saja
Usai mengikuti seleksi guru berprestasi, guru tersebut mendapatkan perlakuan sama sama alias biasa-biasa saja. Bukannya guru berprestasi diperlakukan istimewa, melainkan sekadar diberi penghargaan di tingkat sekolah, daerah, provinsi, dan nasional. Memang tidak dibedakan dalam banyak hal untuk guru yang menjadi guru berprestasi dengan guru yang tidak terpilih menjadi berprestasi: besaran gajinya sama, tunjangan profesinya sama, dan jam mengajarnya sama. Bahkan, ada kecenderungan sering diejek atau menjadi bahan olok-olokan rekan sejawat manakala bersikap malas, “Guru berprestasi kok malas?”

3. Minimnya Penghargaan
Mestinya guru berprestasi yang dikirimkan kabupaten/ kota ke tingkat provinsi adalahguru jempolan alias memiliki prestasi jauh lebih baik dibandingkan guru-guru lainnya. Guru-guru yang berhasil lolos ke tingkat nasional pun, pastilah guru-guru yang teramat bagus integritas, loyalitas, dan karya-karyanya. Lalu, mengapa guru-guru itu tidak pernah diberikan amanah atau jabatan agar dapat mempengaruhi bawahannya? Jabatan pengawas, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan menteri pendidikan tak pernah mencantumkan persyaratan tentang guru berpestasi. Begitu guru berprestasi itu pulang alias kembali ke sekolahnya, ia pun menjadi guru yang biasa-biasa saja. Andaikan diberi penghargaan, paling berbentuk materi, seperti piagam, uang, atau laptop.
Atas kondisi di atas, mestinya pemerintah khawatir karena guru-guru yang berpotensi tak bergairah mengikuti seleksi Guru Berprestasi yang disebabkan ketiadaan apresiasi. Jika guru-guru nan sarat prestasi itu tidak dimanfaatkan oleh negara, teramat sulit kualitas pendidikan ini ditingkatkan. Bukankah sekeping medali emas lebih berharga daripada 1000 perunggu? Guru-guru yang berprestasi itu harus diberi kesempatan untuk berkarier sehingga turut mewarnai dunia pendidikan.
Seperti yang telah kita ketahui, justru banyak pejabat pendidikan tidak berasal dari guru karier. Banyak kepala dinas berasal dari disiplin ilmu nonpendidikan. Dan lebih banyak lagi pejabat-pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru berlatar belakang perguruan tinggi. Apa jadinya pikiran brilian sang professor tetapi belum pernah menjadi guru? Maka wajar-wajar saja banyak kebijakan-kebijakan Kemendikbud mentah alias irrasional dan tak implementatif di ranah bawah, bahkan kadang kontraproduktif.
Ke depan, mestinya pemerintah memberikan kesempatan kepada guru-guru berprestasi itu untuk mewarnai kualitas pendidikan tanah air. Untuk tingkat nasional, Juara 1, 2, dan 3 Guru Berprestasi Nasional diberi kesempatan berkarier di Pusat Kurikulum dan Perbukuan Penelitian dan Pengembangan (Puskurlitbang) Kemendiknas Jakarta. Juara 1, 2, dan 3 Guru Berprestasi Provinsi diberi kesempatan menjadi Widyaiswara LPMP Provinsi atau berkarier di Dinas Pendidikan Provinsi. Guru-guru berprestasi tingkat kabupaten/ kota diberikan amanah atau jabatan sebagai pengawas, kepala sekolah, atau berkarier di dinas pendidikan. Jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, Kabupaten, dan Kota sudah dipenuhi guru-guru berprestasi, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kualitas pendidikan kita akan melonjak drastis. Mudah-mudahan itu tak menjadi sekadar mimpi…!!!

Sumber:


Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. Setuju!!!! Bahkan kadang, krn tdk ada perhatian seorang guru yg pernah berprestasi dan diabaikan begitu saja, akhirx tdk percaya diri, krn tdk mendpt apresiasi dr pemerintah.. Kasihan...bener....

    BalasHapus

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis