Teori Belajar Konstruktivistik

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
(Review Teori Perkembangan Piaget dan Kaitannya dengan Teori Belajar Konstruktivistik  serta Implementasinya dalam Pembelajaran)
Oleh
Gede Putra Adnyana

1.  Teori Belajar dan Teori Pembelajaran
Teori adalah sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik dan yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang diamati (Snelbecker, 1974 dalam Dahar, 1988: 5). Proposisi yang terintegrasi secara sintaktik, artinya, kumpulan proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi lainnya dan juga pada data yang diamati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, proposisi berarti rancangan usulan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 899). Dengan demikian proposisi dalam kaitannya dengan teori, berarti rancangan gagasan untuk memprediksi dan mejelaskan fenomena-fenomena. Salah satu fenomena itu adalah belajar dan pembelajaran yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Individu dapat dikatakan telah mengalami proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan dalam kecendrungan perilaku (De Cecco & Crawford, 1977 dalam Ali, 2000: 14). Perubahan perilaku tersebut mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya yang dapat maupun tidak dapat diamati . Perilaku yang dapat diamati disebut penampilan (behavioral performance) sedangkan yang tidak dapat diamati disebut kecendrungan perilaku (behavioral tendency). Penampilan yang dimaksud dapat berupa kemampuan menjelaskan, menyebutkan, dan melakukan sesuatu perbuatan. Terdapat perbedaan yang mendasar antara perilaku hasil belajar dengan yang terjadi secara kebetulan. Seseorang yang secara kebetulan dapat melakukan sesuatu, tidak dapat mengulangi perbuatan itu dengan hasil yang sama. Sedangkan seseorang dapat melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat melakukkannya secara berulang-ulang dengan hasil yang sama. Gagne (1977) seperti yang dikutip Miarso (2004), berpendapat bahwa belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal dilingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode atau perlakuan).
Proses belajar dalam konteks pendidikan formal, merupakan proses yang dialami secara langsung dan aktif oleh pebelajar pada saat mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang direncanakan atau disajikan di sekolah, baik yang terjadi di kelas maupun di luar kelas (Soedijarto, 1993: 94). Proses belajar yang berkulitas dan relevan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu direncanakan. Belajar merupakan kegiatan aktif pebelajar dalam membangun makna atau pemahaman, sehingga diperlukan dorongan kepada pebelajar dalam membangun gagasan (Depdiknas, 2002). Oleh karena itu diperlukan penciptaan lingkungan yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab pebelajar untuk belajar sepanjang hayat. Pembelajaran yang melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu indera saja. (Dryden, G. dan Jeannette V., 2002: 195). Hal ini akan memunculkan kreativitas untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu cara saja.
Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Lozanov (1978), mengatakan bahwa sampai sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, B., 2002: 3). Ini berarti, dalam pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian pebelajar ke dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Hal ini, sesuai dengan empat pilar pendidikan seumur hidup, seperti yang ditetapkan UNESCO, yaitu 1) to learn to know (belajar untuk berpengetahuan), 2) to learn to do (belajar untuk berbuat), 3) to learn to live together (belajar untuk dapat hidup bersama), dan 4) to learn to be (belajar untuk jati diri) (Sadia, 2006). Untuk itu diperlukan membangun ikatan emosianal dengan pebelajar, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan ancaman. Hal ini merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, B., 2002: 23). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena belajar dan pembelajaran, sehingga dalam implementasinya dapat lebih efektif dan efesien.
Ada perbedaan yang prinsip antara teori belajar dengan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, karena tujuan utamanya memeriksa proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif, karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal (Bruner dalam Degeng, 1989 dalam Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada bagaimana peserta didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran merupakan variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Dengan demikian, dalam pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah hasil belajar sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi. Hubungan antara variabel-variebel pembelajaran pada teori belajar, disajikan pada diagram berikut:




Dalam pengembangan teori belajar, hasil yang diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik, yaitu hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bisa jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena teori belajar adalah deskriptif, maka menggunakan struktur logis “Jika …., maka …..” (Landa dalam Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 13). Sebagai contoh, ”Jika materi pelajaran (ini suatu kondisi) diorganisasi dengan menggunakan model elaborasi (ini suatu metode) maka perolehan belajar dan retensi (ini suatu hasil) akan meningkat”. Dalam  proposisi teori belajar tersebut, model pengorganisasian pembelajaran (model elaborasi) ditetapkan sebagai perlakuan, di bawah kondisi karakteristik isi pelajaran, untuk memerikan perubahan unjuk kerja (actual outcomes), berupa peningkatan perolehan belajar dan retensi. Dengan demikian teori belajar menyatakan bahwa, apa yang terjadi secara psikologis bila suatu tindakan belajar dilakukan oleh seseorang.
Pada teori pembelajaran, fokus diarahkan kepada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Oleh karena itu teori pembelajaran berhubungan dengan upaya mengontrol variable-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat mudah belajar. Dalam hal ini, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai givens, dan metode yang optimal ditetapkan sebagai variabel yang diamati. Jadi, kondisi dan hasil pembelajaran sebagai variabel bebas, sedangkan metode pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Teori pembelajaran adalah goal oriented, artinya, teori pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Reigeluth, 1983; Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005: 12). Oleh karena itu, variabel yang diamati dalam teori pembelajaran adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan. Hubungan antara variable-variabel tersebut, disajikan pada bagan berikut:




Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori pembelajaran adalah hasil pembelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu. Dengan demikian teori pembelajaran berisi seperangkap preskriptif guna mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan di bawah kondisi tertentu. Adapun proposisi yang digunakan dalam teori pembelajaran adalah “Agar …., lakukan ini” (Landa dalam Degeng, 1990 dalam Budiningsih, 2005:13). Sebagai contoh, “Agar perolehan belajar dan retensi (suatu hasil) meningkat, organisasilah materi pelajaran (suatu kondisi) dengan menggunakan model elaborasi (suatu metode). Dalam proposisi teori pembelajaran, peningkatan perolehan belajar dan retensi ditetapkan sebagai hasil pembelajaran yang diinginkan, dan model elaborasi yang merupakan salah satu model untuk mengorganisasi materi pelajaran, dijadikan metode yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam teori pembelajaran harus terdapat variabel metode pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran mengungkapkan hubungan antara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri peserta didik. Jadi, dalam teori pembelajaran, terdapat preskripsi tindakan belajar yang harus dilakukan agar proses psikologis dapat terjadi.
Teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu teori sebelum abad ke-20 dan teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen. Sedangkan teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field, berlandaskan kepada segi kognitif (Ali, 2000: 20). Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law Of Effect oleh Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta Teori Operant Conditioning oleh Skiner (Dahar, 1989: 39). Sedangkan teori belajar Gestalt-field (teori belajar kognitif), meliputi teori belajar bermakna oleh Ausubel, teori belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori Webteaching oleh Norman, teori Hirarki belajar oleh Gagne, dan teori perkembangan oleh Piaget. Teori Piaget biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif.  Teori belajar Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.  Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2001). Pernyataan ini didukung oleh Sadia (2006), yang mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme berakar pada teori struktur genetik Piaget. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang dikembangkannya, Piaget juga dikenal sebagai konstruktivis pertama (Bodner, 1986 dalam Dahar, 1988: 192).
2.  Teori Piaget dan Kaitannya dengan Teori Belajar Konstruktivistik
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu sutau proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, maka terjadi adaptasi biologis dengan lingkungannya yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif, yaitu ketidakseimbangan antara yang telah diketahui dengan yang diihat atau dialaminya sekarang. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan) (Budiningsih, 2005: 36). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyampaian informasi baru kedalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian, pandangan tentang anak menurut teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.  Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekadar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998 dalam Hamzah, 2001). 
Teori Piaget biasa juga disebut dengan teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif.  Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.  Setiap tahap perkembangan intelektual, ditunjukkan dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2001). Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget menyimpulkan bahwa kualitas daya pikir atau kekuatan mental anak dipengaruhi oleh usia anak tersebut. Pola dan tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya (Budiningsih, 2005: 37). Berdasarkan hal tersebut, Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu 1) tahap sensorimotor (umur 0 – 2 tahun), 2) tahap preoperasional (umur 2 – 7/8 tahun), 3) tahap operasional konkret (umur 7/8 – 11/12 tahun), dan 4) tahap operasional formal (umur 11/12 – 18 tahun). Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang, semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya.
Pada tahap sensorimotor, yaitu umur anak 0 – 2 tahun, pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangan pada tahap sensorimotor adalah adanya tindakan dan dilakukan langkah demi langkah. Beberapa ciri kemampuan yang dimiliki anak pada tahap sensorimotor, antara lain: 1) melihat dirinya sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya, 2) mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara, 3) suka memperhatikan sesuatu lebih lama, 4) mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya, dan 5) memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
Ciri pokok perkembangan pada tahap preoperasional, yaitu umur anak 2 – 7 atau 8 tahun adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Berdasarkan perbedaan umur anak, tahap ini dibedakan menjadi dua, yaitu umur 2 – 4 tahun disebut preoperasional dan umur 4 – 7 atau 8 tahun disebut intuitif. Adapun karakteristik tahap preoperasional, yaitu umur anak 2 – 4 tahun, antara lain: 1) self counter-nya sangat menonjol, 2) dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok, 3) tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda, 4) mampu mengumpulkan barang-barang menurut kreteria, dan 5) dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan. Sedangkan pada tahap intuitif, anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman luas. Adapun karakteristik tahap intuitif ini, antara lain: 1) anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya, 2) anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang  lebih kompleks, 3) anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide, dan 4) anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar.
Tahap operasional konkret, yaitu umur anak 7 atau 8 tahun sampai 11 atau 12 tahun, memiliki cirri pokok yaitu kemampuan menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Pada tahap ini anak memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret. Anak, telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems). Tetapi, pada tahap ini anak masih belum mampu berpikir secara abstrak.
Pada umur anak 11 atau 12 sampai dengan 18 tahun, maka berada pada tahap operasional formal. Cirri pokonya adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Pada tahap ini anak memiliki model berpikir ilmiah dengan tipe hipotetico deductive dan indictive, dan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan, dan mengembangkan hipotesis. Adapun karakteristik anak pada tahap operasinal formal, antara lain: 1) bekerja secara efektif dan efesien, 2) menganalisis secara kombinasi, 3) berpikir secara proporsional, dan 4) menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam (Budiningsih, 2005: 39).
Dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau tahap perkembangan mental, terdapat tiga dalil pokok menurut teori Piaget, seperti yang dikemukakan Ruseffendi (1988) dalam Hamzah (2001), yaitu (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.  Artinya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Dengan  demikian, menurut Piaget pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan.  Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.  Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999 dalam Hamzah, 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu, cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.  Berkaitan dengan hal tersebut, maka teori Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi atau bentukan individu itu sendiri (Von Galserfeld dalam Suparno, 1997: 18). Dengan demikian pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif terhadap realita melalui kegiatan mental seseorang.  Oleh karena itu, pengetahuan bukanlah tentang dunia realita yang lepas dari pengamat, tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksi berdasarkan pengalamannya. Selanjutnya Von Galserfeld mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya (Suparno, 1996: 20). Sehubungan dengan hal tersebut, Tasker (1992) dalam Hamzah (2001) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme, yaitu 1) peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, 2) pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna, dan 3) mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Pendekatan konstruktivistik adalah salah satu perspektif ideology baru yang berkembang pascapositivistik, disamping paradigma pascamodernis (postmodernism), paradigma kritis (critical paradigm), dan pendekatan feminis (feminist approaches). Paradigma baru ini pada dasarnya menganggap bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Paradigma baru ini bersifat unik dan menekankan pada manusia sebagai makhluk yang mampu membangun pengetahuan sendiri yang tidak terlepas dari lingkungannya (Miarso, 2004: 216). Pendekatan pascapositivistik cenderung menggunakan teori secara bervariasi dan senantiasa memandang manusia sebagai makhluk yang unik, oleh karena itu dalam kontek belajar dan pembelajaran cendrung menggunakan landasan teori belajar konstruktivistis. Teori konstruktivistis secara ringkas menyatakan bahwa setiap orang mengkonstruk (membangun) pengetahuan, sikap, atau keterampilan berdasarkan pengalaman, pengetahuan yang telah ada sebelumnya, serta keserasian dalam lingkungannya.
Pandangan konstruktivis menganggap belajar adalah perubahan konseptual, bukan penjelajahan informasi-informasi yang baru ke dalam pikiran siswa yang kosong, melainkan upaya pengembangan atau perubahan terhadap apa yang telah dimiliki dalam pikiran siswa. Perubahan konsep-konsep akan bermakna bila informasi yang baru (sains) dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, intelligible (dapat dimengerti), plausible (dapat dipercaya), fruitful (bermanfaat) sehingga membantu siswa untuk memahami dunianya (Carr, et al, 1994 dalam Janulis P. P., 2004). Dalam kaitannya dengan pengintegrasian konsep-konsep baru dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dalam diri siswa, Hewson dan Hewson (1993) mengemukakan tiga kondisi yang harus dipenuhi oleh konsep baru yang bersangkutan. Yaitu konsep baru tersebut harus dapat dipahami (intelligible) bagi siswa, konsep tersebut harus dipahami dengan jelas dan tampak seperti benar (plausible) oleh siswa, dan konsep baru tersebut harus bermanfaat dalam memecahkan masalah yang sebelumnya tidak dapat dipecahkan, dan dapat memberi ide-ide baru (fruitful) bagi siswa. Dalam belajar model belajar konstruktivis ketiga kondisi di atas yaitu intelligible, plausible, dan fruitful, harus diperhatikan dengan seksama oleh para guru, terutama dalam mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah (Janulis P. P., 2004)
Teori belajar konstruktivstik mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya (Budiningsih, 2005: 64). Terdapat dua prinsip pokok konstruktivisme, seperti yang dikemukakan Wheatly (1991) dalam Sadia (2006), yaitu pertama, bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh pebelajar (learner). Bahwa ide tidak dapat ditaruh secara utuh kedalam kepala orang lain. Dalam hal ini pebelajar membangun makna bergantung pada struktur kognitif yang telah ada sebelumnya (prior knowledge). Kedua, bahwa fungsi kognitif adalah adaptasi dan melayani dunia pengalaman, bukan menemukan realita ontologi. Selanjutnya, Fosnot (1989) mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme, yaitu 1) pengetahuan terdiri dari konstruksi-konstruksi masa silam (past construction). Artinya, pengetahuan dibangun dengan menggunakan struktur kognitif yang telah dimiliki, dan struktur kognitif itu terus berkembang secara kontinu melalui proses regulasi diri; 2) pengetahuan dikonstruksi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan pengintegrasian unsur eksternal ke dalam struktur kognitif yang telah ada, sedangkan akomodasi merupakan proses adaptasi struktur kognitif yang telah ada agar sesuai dengan data sensori yang baru diasimilasi; 3) belajar merupakan proses organik dari penemuan. Artinya, belajar harus memperoleh pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, berimajinasi, dan melakukan penemuan dalam upaya membangun struktur kognitifnya; dan 4) belajar memungkinkan terjadinya perkembangan struktur kognitif. Dalam hal ini, belajar bermakna akan terjadi melalui proses refleksi dan resolusi konflik kognitif. (Sadia, 2006).
Berdasarkan prinsip dasar konstruktivis, ilmu pengetahuan dapat dipahami sebagai suatu yang harus dibangun untuk dan oleh siswa sendiri. Karena itu penalaran yang berkembang dalam pikiran seorang individu tidak dapat dipindahkan begitu saja dari satu orang individu (guru) ke individu yang lain (siswa). Belajar menurut pandangan konstruktivis adalah proses aktif yang berkesinambungan yang dilakukan siswa dalam menggunakan informasi dari lingkungan untuk membangun interpretasi dan makna sendiri berdasarkan pengetahuan awal (prior knowledge) dan pengalaman (Janulis P. P., 2004). Karena itu bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersifat kritis, dan mengadakan justifikasi. Sebagai konsekuensinya guru harus memberi perhatian yang besar terhadap pengetahuan awal para siswa dalam rangka meningkatkan kualitas hasil belajar. Agar proses pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan strategi pembelajaran dengan menggunakan model belajar atau model mengajar tertentu .
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995 dalam Hamzah, 2001) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekadar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Dengan demikian, berdasarkan teori belajar konstruktivitis, hendaknya terjadi pergeseran filosofi pembelajaran, yaitu dari paradigma transmisi menuju pada aktivitas kelas yang berpusat pada pebelajar (O’Malley & Fierce, 1996 dalam Santyasa, 2004). Pergeseran filosofi tersebut berorientasi pada pembelajaran yang menyeluruh (Holistic) dengan memperhatikan perkembangan anak, yang meliputi pertumbuhan fisik, sosial, emosioal, dan intelektual. Pembelajaran holistik menuntut aktivitas-aktivitas kelas berpusat pada pebelajar, bermakna, dan otentik. Pembelajaran holistik menggunakan pengetahuan awal, pengalaman, dan minat pebelajar dalam pembelajaran dan mendukung pengkonstruksian pengetahuan secara aktif. Pembelajaran holistik juga menyediakan makna dan tujuan belajar dan melibatkan para pebelajar dalam interaksi sosial untuk mengembangkan pengetahuan melalui aktivitas pemecahan masalah dan berpikir. Pembelajaran holistik menghendaki pergeseran peran pebelajar dari pengamat informasi secara pasif menjadi pebelajar aktif, pemecah masalah secara mandiri, pemikir kritis dan kreatif dalam menganalisis dan mengaplikasikan fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari. Kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis dan kreatif merupakan hakekat tujuan pendidikan dan menjadi kebutuhan bagi peserta didik untuk menghadapi kehidupan di dunia nyata. Oleh karena itu, pembelajaran yang dikembangkan adalah pembelajaran yang relevan dengan teori belajar kontruktvistik.
3.  Implementasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Berdasarkan teori belajar konstruktivistik, belajar adalah proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Pebelajar sendiri yang bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Pebelajar sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna (Santyasa, 2004).
Dengan demikian, menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.  Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Akibatnya, harus ada pergeseran pandangan dari guru atau dosen tentang proses pembelajaran, yaitu dari mengajar menjadi seorang fasilitator dan mediator, dari pembebanan menjadi proses negosiasi (Sadia, 2006). Oleh karena itu, implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.  Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c)  peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.  Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik (Poedjiadi, 1999 dalam Hamzah, 2001). 
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (Hamzah, 2001). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka.  Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.  Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan pemecahan masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh pebelajar sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik (Brooks & Brooks, 1993 dalam Santyasa, 2004), yaitu (1) meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan pebelajar, (2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3) menghargai pandangan pebelajar, (4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan pebelajar, (5) menilai pembelajaran secara kontekstual.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik meliputi tiga fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) transfer belajar, dan (3) bagaimana belajar (Santyasa, 2004). Pada fokus proses, nilai yang dijadikan dasar untuk mempersepsi belajar dengan asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya pebelajar berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan pebelajar ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh pengajar. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivistik. Pada fokus transfer belajar, diyakini bahwa meaningful learning memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Ini merupakan konsep belajar bermakna, dimana sebagai tanda bahwa pemahaman telah mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Sedangkan pada fokus bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir pebelajar.
Dalam mengimplementasikan pembelajaran konstruktivistik, perlu dicermati pula tentang reposisi pengajar. Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001 dalam Santyasa, 2004), terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh pengajar dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang baik tentang kerja fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman pebelajar, memiliki kemampuan mempercepat kreativitas sejati pebelajar, dan memiliki kemampuan kerja sama dengan orang lain. Para pengajar diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Pengajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pengajar diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pengajar diharapkan menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, pengajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Oleh karena itu, peranan pengajar tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang berbeda dengan pandangan tradisional. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Pengajar sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing. Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan pengajar dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, pengajar diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk pebelajar, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika pebelajar sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor pebelajar. Sebagai manager, pengajar berkewajiban memonitor hasil belajar para pebelajar dan masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, pengajar berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menyeleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan pebelajar. Sebagai mediator, pengajar memandu mengetengahi antar pebelajar, membantu para pebelajar memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para pebelajar mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para pebelajar, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada pebelajar ikut berpikir kritis (Santyasa, 2004).
 Terdapat perbedaan bentuk implementasi pembelajaran konstruktivistik dengan pembelajaran behavioristik (tradisional). Pembelajaran menurut konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya membentuk struktur kognitif baru (Budiningsih, 2005: 63). Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional (behavioristik) dan pembelajaran konstruktivistik, sebagai berikut:
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik


DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.M. 2000. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan ke-10. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar, R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas
DePorter, B. 2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Ruang Kelas. Penerjemah, Ary Nilandari. Edisi 1. Cetakan ke-10. Bandung: Kaifa
Dryden, G. dan Jeannette V. 2002. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution): Belajar Akan Efektif Kalau Anda Dalam Keadaan “Fun” Bagian I: Keajaiban Pikiran. Penerjemah: Ahmad Baiquni. Bandung: Kaifa
Hamzah. 2001. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme. http://www.depdiknas.go.id/ Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 40.htm (17 Oktober 2006)
Janulis P. P. 2004. Pengembangan Dan Implementasi Pembelajaran Sains Menggunakan Pendekatan Pemecahan Masalah. Makalah disajikan dalam KONASPI V tanggal 5 – 9 Oktober 2004 di Surabaya
Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Edisi Ke-1. Cet. 1. Jakarta: Kencana
Sadia, I W. 2006. Landasan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar. Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha Singaraja
Sadia, I W. 2006. Model Pembelajaran Konstruktivistik (Suatu Model Pembelajaran Berdasarkan Paradigma Konstruktivisme). Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS Undiksha Singaraja
Santyasa, I Wayan. 2004. Model Problem Solving Dan Reasoning Sebagai Alternatif Pembelajaran Inovatif. Makalah disajikan dalam KONASPI V tanggal 5 – 9 Oktober 2004 di Surabaya
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Cet. Ke-7. Yogyakarta: Kanisius
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis