Model Siklus Belajar (Learning Cycle)

MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)
Oleh: Gede Putra Adnyana

Model siklus belajar (Learning Cycle) merupakan salah satu strategi mengajar yang menerapkan model konstruktivis (Herron, 1988 dalam Dahar, 1988: 197). Menurut paradigma konstruktivistik, belajar merupakan proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Oleh karena itu, belajar adalah kegiatan aktif pebelajar untuk membangun pengetahuannya, dimana pebelajar sendiri yang bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Pebelajar sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna (Santyasa, 2004). Dengan demikian ada upaya optimalisasi pengalaman belajar siswa melalui penerapan model siklus belajar.
Berdasarkan kerucut pengalaman Edgar Dale, bahwa pengalaman yang paling tinggi nilainya adalah direct purposeful experience, yaitu pengalaman yang diperoleh dari hasil kontak langsung dengan lingkungan, objek, binatang, manusia dan sebagainya, dengan cara melakukan perbuatan langsung (Ali, 2000: 90). Sedangkan verbal symbol yang diperoleh melalui penuturan dengan kata-kata merupakan pengalaman belajar yang paling rendah tingkatannya. Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat memberikan pengalaman yang lebih berarti bagi siswa, maka perlu dirancang model pembelajaran yang dapat membawa siswa kepada pengalaman yang lebih konkrit. Hal ini, karena setiap siswa mempunyai cara yang optimal dalam mempelajari informasi tertentu. (DePorter dan M. Hernacki, 2002: 110). Beberapa siswa perlu diberikan cara-cara yang lain, yang berbeda dengan metode mengajar yang pada umumnya disajikan. Oleh karena itu guru dituntut dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir, daya analisis, dan hasil belajar siswa. Salah satu keterampilan berpikir yang signifikan ditumbuhkembangkan dalam konteks pembelajaran di sekolah adalah keterampilan berpikir kritis. Peningkatan keterampilan berpikir kritis sangat bersinergi dengan kemampuan pemahaman konsep siswa terhadap materi-materi pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka model siklus belajar relevan diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Model siklus belajar pertama kali dikembangkan oleh Robert Karplus dari Universitas California, Barkley tahun 1970-an. Karplus mengidentifikasi adanya tiga fase yang digunakan dalam model pembelajaran ini yaitu preliminary exploration, invention, dan discovery. Berkaitan dengan tiga fase dalam learning cycle, Charles Barman dan Marvin Tolman menggunakan istilah exploration, concept introduction, dan concept application. Joseph Abruscato menggunakan istilah exploration, concept acquisition, dan concept application. Sedangkan Edmund Marek menggunakan istilah exploration, term introduction, dan concept application (Dasna, 1997; Christie, 2002 dalam Dasna dan Sutrisno, 2004). Walaupun disebutkan dengan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai makna yang sama. Bahkan, model siklus belajar yang terdiri dari tiga fase tersebut selanjutnya dikembangkan dan diperinci kembali sehingga muncullah model siklus belajar lima fase (5E) yang meliputi: engagement, exploration, explanation, elaboration, dan evaluation (Trowbridge dan Bybee, 1996; Rahayu, 2001; dalam Dasna dan Sutrisno, 2004).
Oleh karena model siklus belajar adalah suatu model pembelajaran yang dilandasi oleh paradigma konstruktivistik, maka mengajar merupakan proses untuk mengubah gagasan-gagasan yang telah dimiliki peserta didik. Model siklus belajar adalah model pembelajaran yang dilaksanakan dengan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Kegiatan pembelajarannya dilakukan baik secara individual maupun berkelompok. Namun, secara umum langkah-langkah pembelajarannya, meliputi 1) menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal, untuk membawa siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki (fase eksplorasi), 2) mendiskusikan konsep-konsep yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki (fase pengenalan konsep), dan 3) menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk penyelidikan lebih lanjut (fase aplikasi konsep). Implementasi ketiga fase pembelajaran pada siklus belajar tersebut, berpotensi untuk melibatkan lebih banyak indera siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran yang melibatkan seluruh indera akan lebih bermakna dibandingkan dengan satu indera saja. Jika permasalahan telah terdefinisikan secara matematis dalam suatu pembelajaran, maka perlu divisualisasikan atau digambarkan secara komprehensip. (Dryden dan Jeannette, 2002: 195). Akibatnya, kemampuan daya analisis siswa berkembang, sehingga akan memunculkan kreativitas siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara baru dan tidak terpaku pada satu cara saja.
Pada fase eksplorasi, siswa terlibat secara aktif untuk mengeksplorasi objek, peristiwa atau situasi menarik melalui pengamatan (observasi) atau penggunaan panca indera. Melalui kegiatan dalan fase ini, siswa diharapkan mampu menetapkan hubungan-hubungan, mengamati pola, mengidentifikasi variabel dan bertanya tentang suatu peristiwa. Tujuan dari fase eksplorasi ini adalah melibatkan siswa secara aktif dalam suatu kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, motivasi untuk belajar, berinteraksi dengan teman dan guru serta meningkatkan komunikasi yang bermakna dalam mengembangkan konsep tertentu (Dasna dan Sutrisno, 2004). Serangkaian kegiatan belajar yang dapat dilakukan siswa pada fase eksplorasi, seperti: melakukan pengamatan (observasi), membaca uraian, membaca dan menganalisa artikel, membaca tabel dan berdiskusi
Pada fase pengenalan konsep, siswa diberi paparan untuk memperkenalkan konsep inti pelajaran yang dikaitkan langsung dengan fase eksplorasi. Dalam fase ini guru membimbing siswa untuk mempresentasikan data yang telah diperoleh pada fase eksplorasi. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mendapatkan penjelasan tentang konsep yang ditemukan dan memperoleh informasi yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari. Berbagai kegiatan pembelajaran dapat digunakan dalam fase ini seperti: penggunaan bacaan kutipan dari buku teks, contoh soal, dan model pengayaan lain untuk memperjelas konsep yang telah ditemukan sebelumnya. Uraian pengayaan diarahkan untuk menyamakan presepsi, definisi atau hubungan antar konsep (Dasna dan Sutrisno, 2004).
Sedangkan pada fase penerapan konsep, kepada siswa diberi kesempatan untuk menerapkan konsep yang dipelajari dalam situasi baru serta memahami hubungan antara konsep yang dipelajari dengan konsep-konsep lain. Siswa diberi kegiatan yang dapat memperkuat dan memperluas konsep yang telah dipelajari. Kegiatan ini dapat berupa pemberian masalah dan proyek (penelitian) yang dikembangkan dari dua kegiatan sebelumnya. Pada kegiatan ini, diharapkan adanya penerapan konsep yang telah dipelajari siswa dalam kehidupan sehari-hari (Dasna dan Sutrisno, 2004). Serangkaian kegiatan belajar yang dapat dilakukan siswa untuk menerapkan konsep yang dipelajari dalam situasi baru, seperti: memecahkan masalah, melakukan percobaan, dan menganalisis masalah yang terdapat di dalam artikel.
Dengan demikian, proses pembelajaran dengan penerapan model siklus belajar, adalah fenomena yang kompleks, dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Menurut Lozanov (1978), sampai sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung (DePorter, 2002: 3). Ini berarti, guru diharapkan dapat mengarahkan perhatian siswa ke dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan. Untuk itu membangun ikatan emosianal guru dan siswa, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, menyingkirkan ancaman, dan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran merupakan faktor yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Studi-studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar (aktivitas belajar tinggi), jika pelajarannya memuaskan, menantang, dan ramah. Dengan kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, 2002: 23-24)
Menurut Lawson (1988), terdapat tiga macam siklus belajar, yakni deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif (Dahar, 1988: 198). Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif menghendaki pola-pola deskriptif, seperti seriasi, klasifikasi, dan konservasi. Siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi, seperti mengendalikan variabel, penalaran korelasional, dan penalaran hipotetis-deduktif. Sedangkan siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediet, yakni penggabungan antara pola-pola deskriptif dan tingkat tinggi.
Dalam siklus belajar deskritif, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus, dan ini merupakan fase eksplorasi. Guru memberi nama pada pola tersebut, dimana kegiatan ini termasuk fase pengenalan konsep. Selanjutnya, pola tersebut ditentukan dalam konteks-konteks lain yang merupakan fase aplikasi konsep. Bentuk siklus belajar deskriptif hanya memberikan sebatas apa yang diamati tanpa usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatannya (Dahar, 1988: 199).
Dalam siklus belajar empiris-induktif, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus, yang merupakan fase eksplorasi. Selanjutnya, para siswa mengemukakan sebab-sebab terjadinya pola tersebut, sehingga diperlukan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru, dan ini merupakan fase pengenalan konsep. Dengan bimbingan guru, para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk mengetahui apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan sesuai dengan data dan fenomena lain yang dikenal, dan ini merupakan fase aplikasi konsep. Dengan demikian dalam siklus belajar empiris-induktif, para siswa melakukan pengamatan secara deskriptif, mengemukakan sebab dan menguji sebab-sebab tersebut (Dahar, 1988: 199).
Dalam siklus belajar hipotesis-deduktif, pembelajaran dimulai dengan suatu pertanyaan sebab, kemudian para siswa merumuskan jawaban-jawaban atau hipotesis-hipotesis yang mungkin. Selanjutnya, para siswa menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis tersebut dan merencanakan dan melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hoptesis, dimana kegiatan ini termasuk fase eksplorasi. Analisis hasil eksperimen menyebabkan hipotesis ditolak atau diterima sehingga konsep-konsep dapat diperkenalkan, dan ini merupakan fase pengenalan konsep. Akhirnya, dilakukan penerapan konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan pada situasi-situasi lain, dimana kegiatan ini termasuk fase aplikasi konsep.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dibuat sintaks model siklus belajar pada berbagai tipe. Secara umum sintaks model siklus belajar yang menunjukkan tujuan dan aktivitas pembelajaran, disajikan pada tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2 Sintaks Model Siklus Belajar
FASE
TUJUAN
AKTIVITAS PEMBELAJARAN
Eksplorasi
Tujuan:
1.    Mengetahui pengetahuan awal
2.    Menumbuhkan rasa ingin tahu
3.    Menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar
4.    Mengidentifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki
1.   Siswa belajar melalui aksi dan reaksi dalam situasi baru
2.   Menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal
3.   Memberikan gagasan yang dapat menimbulkan perdebatan dan analisis
4.   Mengeksplorasi objek/peristiwa berupa gambar/tabel/artikel
5.   Melakukan percobaan untuk mengeksplorasi hubungan
6.   Menjawab pertanyaan-pertanyaan pada LKS
7.   Menelaah dan mendiskusikan uraian materi
Pengenalan Konsep
Tujuan:
1.   Menjelaskan konsep yang ditemukan siswa
2.  Menyamakan persepsi
3.  Memperluas hubungan antar konsep
1.  Memperkenalkan suatu konsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki
2. Mendiskusikan konsep dalam konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi
3. Mendistribusikan/mengkaji bahan kajian/bacaan
4. Memberikan penjelasan tentang konsep
5. Mempresentasikan/mendiskusikan hasil percobaan
Aplikasi Konsep
Tujuan:
1.   Menjelaskan konsep yang ditemukan siswa
2.  menggunakan konsep-konsep untuk penyelidikan lebih lanjut
1.   Melakukan percobaan dan mengerjakan LKS
2.   Membaca/mengkaji skema
3.   Membuat karya tulis
 (Lawson, 1988 dalam Dahar, 1988: 199)

Selengkapnya.. »»  

Perkara Sistem Rekrutmen Guru

PERKARA SISTEM REKRUTMEN GURU
Oleh: Gede Putra Adnyana

Hasil penelitian Goodlad (dalam Idris, 2005), menyimpulkan bahwa peran guru amat signifikan terhadap kualitas keberhasilan proses pembelajaran. Ketika para guru telah memasuki ruangan dan menutup pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan guru. Oleh karena itu, kehadiran guru yang profesional adalah suatu keniscayaan dalam rangka mewujudnyatakan proses dan hasil belajar yang berkualitas. Doyle (dalam Dunne & Wrag, 1996:11), menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan guru dengan efektivitas pembelajaran. Semakin tinggi kemampuan guru (kompetensi guru), maka semakin efektif guru dalam menyelenggarakan pembelajaran. Dengan demikian, peran dan fungsi guru tak terbantahkan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

Guru yang berkualitas dapat dihasilkan dari sistem rekrutmen yang berkualitas pula. Namun, apa mau di kata, ternyata sistem rekrutmen guru sungguh sangat tidak proporsional dan profesional.

Selengkapnya.. »»  

UN Versus Kejujuran

UN VERSUS KEJUJURAN
(Pencermatan Penyelenggaraan UN dari Perspektif Kejujuran)

Oleh: Gede Putra Adnyana
(Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng, Bali)

Kasus kecurangan UN di SD Negeri Gadel II Tandes, Kota Surabaya adalah satu kasus kecil dari ribuan kasus kecurangan lainnya (Kompas.com, 13/6/2011). Di Aceh Timur ada intervensi dinas terkait sehingga sekolah melakukan kecurangan demi menyukseskan target dinas (Republika, 11/4/2011). Aksi contek-contekan dan penggunaan telepon seluler secara bebas mewarnai pelaksanaan UN di Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Kompas. Com, 19/4/2011). Di Jakarta, ditemukan guru membantu memberikan jawaban dan membiarkan muridnya mencontek di ruang ujian SMA (Kompas.com, 20/4/2011). Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) membeberkan temuannya terkait kecurangan pada pelaksanaan ujian nasional tingkat sekolah menengah atas. Kecurangan tersebut umumnya terjadi di daerah, seperti DI Yogyakarta, Aceh Utara, Bekasi, Probolinggo, Bengkulu, dan Lampung Tengah (Kompas.com, 25/4/2011).

Dengan demikian, kecurangan tidak hanya terjadi pada tingkat SD saja, tetapi juga SMP dan SMA. Wilayah kecurangan pun bukan hanya di kota Surabaya saja, tetapi hampir merata di seluruh Indonesia.




Selengkapnya.. »»  

Penjaminan Mutu Sekolah

SISTEM PENJAMINAN MUTU SEKOLAH
(Sebuah Gagasan untuk Memacu dan Memicu Peningkatan Mutu Sekolah)
Oleh: Gede Putra Adnyana

Sistem penjaminan mutu sekolah merupakan uapaya yang dilakukan sekolah untuk menghadapi persaingan global sehingga mampu mempertahankan bahkan meningkatkan daya saing di tingkat kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional. Dalam konteks pencapaian tersebut, maka sekolah hendaknya terus berupaya meningkat mutu, relevansi dan efisiensi layanan dengan mengembangkan sistem penjaminan mutu.

Dalam konteks sistem penjaminan mutu sekolah, maka butir yang patut dijamin, meliputi:
1)    8 standar nasional pendidikan (isi, SKL, proses, pendidik/tenaga kependidikan, sarana/prasarana, pengelolaan, penilaian, dan pembiayaan);
2)   Kesiswaan;
3)   Suasana Akademik/Kegiatan Belajar Mengajar (Budaya Sekolah);
4)   Penelitian dan Publikasi (pengembangan keprofesian berkelanjutan);
5)   Sistem Informasi Akademik (optimalisasi TI)

Secara sederhana, manfaat yang dapat diperoleh dari sistem penjaminan mutu sekolah, diantaranya 1) dengan adanya jaminan berupa standar/target yang harus dicapai maka ada upaya dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas layanan pembelajaran, 2) memberikan panduan tertulis kepada seluruh stakeholders sekolah tentang aktivitas pembelajaran, sehingga semua dapat berperan aktif sesuai dengan tugas dan kewenangannya, 3) dapat melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap kinerja sekolah sehingga dimungkinkan segera dilakukan perbaikan kinerja, dan 4) dengan adanya standar, panduan, dan monev yang berkelanjutan maka diharapkan kualitas sekolah meningkat secara signifikan.

Lalu, mungkinkah menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Sekolah?

Selengkapnya.. »»  

Mengkritisi Rekrutmen Guru

HANYA ORANG KAYA BISA JADI GURU
Oleh: Gede Putra Adnyana
Hasil penelitian Goodlad (dalam Idris, 2005), menyimpulkan bahwa peran guru amat signifikan terhadap kualitas keberhasilan proses pembelajaran. Ketika para guru telah memasuki ruangan dan menutup pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan guru. Oleh karena itu, kehadiran guru yang profesional adalah suatu keniscayaan dalam rangka mewujudnyatakan proses dan hasil belajar yang berkualitas. Doyle (dalam Dunne & Wrag, 1996:11), melakukan telaah terhadap efektivitas mengajar guru, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan guru dengan efektivitas pembelajaran. Semakin tinggi kemampuan guru (kompetensi guru), maka semakin efektif guru dalam menyelenggarakan pembelajaran.
Beberapa kemampuan guru yang diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran adalah kemampuan untuk merencanakan dan merancang perangkat pembelajaran serta menerapkan model pembelajaran yang tepat, kreatif dan inovatif. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh Dunalp dan Grabinger (1996), guru dituntut untuk kreatif mengembangkan aktivitas yang dapat mendorong para siswa untuk membangun pengetahuan dan pembelajaran mereka (Dasna dan Sutrisno, 2004). Oleh karena itu, sangat perlukan guru yang kompeten, kempetitif, dan kreatif. Dengan demikian, peran dan fungsi guru tak terbantahkan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Jika sedemikian strategis peran dan fungsi guru untuk kemajuan pendidikan, sudahkah profesi guru mendapatkan perhatian serius dari stakeholders pendidikan?
Terdapat empat sistem yang layak dijadikan bahan kajian untuk menjawab permasalahan tentang guru, yaitu 1) rekrutmen, 2) pembinaan, 3) evaluasi dan pengawasan, serta 4) reward dan punishment. Keempat sistem ini merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Jika keempat sistem ini berkualitas, maka diyakini akan menghasilkan guru yang profesional.
Perkara Sistem Rekrutmen Guru
Guru yang berkualitas dapat dihasilkan dari sistem rekrutmen yang berkualitas pula. Namun, apa mau di kata, ternyata sistem rekrutmen guru sungguh sangat tidak proporsional dan profesional. Fenomena suap sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Fakta adanya suap menyuap tidak dapat dipungkiri, tetapi sulit dibuktikan secara hukum. Calon guru yang mampu menyediakan dan menyerahkan uang dengan jumlah tertentu diyakini akan lulus menjadi guru. Walaupun, kemampuan calon guru tersebut sangat standar bahkan cenderung memprihatinkan. Tetapi, kekuatan uang mampu mengangkat dan menyempurnakan kekurangan itu. Kesepakatan ini terjadi antara calon guru dengan pihak-pihak tertentu yang memiliki koneksi dengan orang-orang dalam pemerintahan. Walaupun diketahui oleh pihak-pihak lain yang merasa dirugikan, tetapi sulit dicari fakta hukumnya. Sungguh merupakan fenomena untuk melembagakan kecurangan, kejahatan, ketidakjujuran, dan keangkaramurkaan.
Lalu, siapa yang bermain dalam lingkaran ini? Jawaban pertama dan utama adalah oknum-oknum pejabat pemegang kebijakan untuk perekrutan PNS (guru). Patut diduga, perekrutan PNS (guru) dijadikan sebagai lahan memperkaya diri sendiri oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini adalah Korupsi Tak Kentara. Korupsi tak kentara ini dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dalam pemerintahan yang memegang jabatan. Pada umumnya, jabatan itupun diperoleh karena adanya dukungan politik dari partai politik tertentu. Ternyata kekuasaan dan politik, juga bagian yang tak terpisahkan dari sistem perekrutan guru. Karena, kekuasaan tanpa dukungan politik, saat ini nyaris tidak mungkin. Demikian pula sebaliknya, partai politik tanda dukungan kekuasaan akan lambat berkembang. Kekuasaan dapat diwujudkan bahkan dilestarikan jika mendapat dukungan politik dari partai politik. Sebaliknya, partai politik dapat lebih leluasa mengembangkan sayapnya, jika mendapat dukungan dari penguasa. Fenomena inilah yang semakin mempersulit membuka tabir bobroknya sistem perekrutan PNS (guru). Sungguh sebuah lingkaran setan yang menyesatkan dan menghancurkan.
Dengan adanya kasus suap menyuap maka uang adalah raja dan kualitas tidak penting. Apalagi adanya kebijakan memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk penyelenggarakan perekrutan guru, maka semakin mudah KKN itu dilaksanakan. Akibatnya, lahirlah guru-guru yang tidak memiliki kualitas memadai. Bahkan, muncul pemeo di masyarakat, PNS (guru) hanya untuk orang kaya. Karena, hanya meraka yang mampu membayar dengan jumlah besar yang akan lulus menjadi guru. Ketika menjadi guru, sudah mengeluarkan uang yang banyak, maka akan muncul dalam pikiran mereka bagaimana cara mengembalikan uang tersebut secepat-cepatnya dalam jumlah yang lebih banyak. Akibatnya, kinerja dan kualitas bukan ukuran, tetapi pengembalian uang yang lebih penting. Fenomena ini sungguh sangat bertentangan dengan tujuan mulia dari Pendidikan Nasional. Jika, sistem rekrutmennya saja sudah tidak berkualitas, bagaimana mungkin menghasilkan guru yang berkualitas. Sistem rekrutmen guru yang memberikan ruang untuk KKN, diyakini akan menghadirkan guru yang tidak profesional. Akibatnya, sedikit demi sedikit namun pasti, akan menghancurkan pendidikan, bangsa dan negara.
Mari pikirkan solusinya demi masa depan Bangsa dan Negara!!!


Selengkapnya.. »»  

Misi 5K Kemdiknas 2011

MISI 5K KEMDIKNAS
Oleh: Gede Putra Adnyana
1. Pendahuluan
Paling sedikit terdapat 3 (tiga) pokok pikiran  utama yang terkandung di dalam UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan merupakan keharusan sebagai upaya mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan (Depdiknas, 2008).
Pembangunan pendidikan mencakup berbagai dimensi yang sangat luas, meliputi dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dari perspektif sosial, pendidikan akan menghasilkan insan-insan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Dari perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos di kalangan warga masyarakat. Sedangkan dari perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang andal untuk menjadi subjek penggerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis dan kecakapan hidup yang memadai.
2. Misi 5K Kemdiknas
Visi Kemdiknas pada tahun 2025 adalah mewujudkan Insan Indonesia Cerdas Komprehensif, Kompetitif dan Bermartabat (Insan Kamil/ Insan Paripurna). Berkaitan dengan hal itu, kemdiknas telah menetapkan tata nilai yang merupakan sikap dan perilaku dasar yang menyatukan hati dan pikiran seluruh aparatur Kemdiknas dalam mewujudkan layanan prima pendidikan. Tata nilai tersebut adalah amanah, profesional, visioner, demokratis, inklusif dan berkeadilan. (Kemdiknas, 2010). Dari enam tata nilai tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah motto “Melayani Semua dengan Amanah”. Motto ini secara strategis menjiwai Kemdiknas dalam melakukan Reformasi Birokrasi. Seluruh aparatur Kemdiknas harus senantiasa menjaga amanah dalam melayani kebutuhan pendidikan bagi semua warga negara. Dengan demikian, Kemdiknas berupaya melakukan perbaikan-perbaikan sistemik dan komperehensif terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan nasional melalui penguatan kelembagaan, pembenahan ketatalaksanaan dan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM).  Selain itu lingkungan strategis menuntut Kemdiknas untuk selalu mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Dinamika ini akan lebih mudah diantisipasi dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Dalam Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, Kemdiknas telah menetapkan Visi 2014 yakni “Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif”. Untuk mencapai visi tersebut, Kemdiknas melaksanakan ”Misi 5K” 2010-2014 sebagai berikut (i) Meningkatkan Ketersediaan Layanan Pendidikan (ii) Meningkatkan Keterjangkauan Layanan Pendidikan (iii) Meningkatkan Kualitas/ Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan (iv) Meningkatkan Kesetaraan dalam Memperoleh Layanan Pendidikan dan (v) Meningkatkan Kepastian/ Keterjaminan Memperoleh Layanan Pendidikan.
Reformasi pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dirancang oleh Kemdiknas untuk dapat melaksanakan Misi 5K Kemdiknas, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan, dan kepastian. Reformasi dimaksud dirancang dengan cara seefisien dan seefektif mungkin. Tujuannya adalah untuk menghasilkan suatu sistem yang dapat mendukung tercapainya efisiensi nasional dalam bidang pendidikan. Efisiensi nasional akan dapat tercapai apabila Kemdiknas bekerja secara efisien (efisensi internal) dan pemangku kepentingan pendidikan dapat memperoleh layanan dari Kemdiknas dengan cara yang efisien juga (efisiensi eksternal) (Kemdiknas, 2010). Tujuan tersebut akan lebih mudah tercapai apabila semua kegiatan Kemdiknas dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, sehingga tidak menyisakan sedikitpun celah untuk lengah dalam pemberian layanan terbaik kepada semua pemangku kepentingan sebagaimana tertuang dalam Visi Kemdiknas 2014, yaitu Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif.
3. Penutup
Paling sedikit terdapat tiga pokok pikiran yang tersirat dan tersurat dalam pendidikan 1) usaha sadar dan terencana, 2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya, dan 3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut penyelenggaraan pendidikan berkualitas adalah keniscayaan. Semakin berkualitas pendidikan yang diselenggarakan, diyakini mampu meningkatkan kualitas SDM. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan pendidikan yang dimaksud mencakup berbagai dimensi yang sangat luas, meliputi dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu kebijakan pendidikan hendaknya berorientasi pada peningatakan mutu pendidikan dan sumber daya manusia (SDM).
Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, Kemdiknas telah menetapkan Visi 2014 yakni “Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif”. Untuk mencapai visi tersebut, Kemdiknas melaksanakan ”Misi 5K” 2010-2014, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan, dan kepastian. Inilah Reformasi di bidang pendidikan yang direncanakan Kemdiknas. Reformasi di dunia pendidikan ini hendaknya disikapi oleh seluruh stakeholders pendidikan.
Referensi
Depdiknas. 2008. Merentang Jalan Menuju Pelayanan Pendidikan Dasar dan Menengah Bermutu. Jakarta: Ditjen Manajemen Dikdasmen, Depdiknas
Depdiknas. 2008. Potret Kemajuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Dari Akses Menuju Mutu. Jakarta: Ditjen Manajemen Dikdasmen, Depdiknas
Kemdiknas. 2010. Reformasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional. Sub Penguatan Organisasi, Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Kemdiknas. 2010. Ringkasan Kegiatan Reformasi Birokrasi Internal Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Kemdiknas. 2011. Peningkatan ketersediaan Dan Keterjangkauan Layanan Pendidikan Menengah Bermutu, Relevan, Dan Berkesetaraan Secara Efisien dan Efektif. Paparan dalam Rembuk Nasional Pendidikan di Sawangan, 15-18 Maret 2011. Ditjen Dikmen, Kemdiknas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tirani, Edwin, dkk. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006. Edisi perdana. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas, Depdiknas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional



Selengkapnya.. »»  

Perkara Pemantapan

MENGHADIRKAN PEMANTAPAN YANG MANTAP
Oleh: Gede Putra Adnyana

Tidak dapat dipungkiri bahwa UN sampai saat ini masih menjadi momok. Walupun sudah ada regulasi tentang kelulusan, namun tetap saja nuansa ketakutan masih menyelimuti sebagian besar siswa. Ketakutan ini cukup beralasan, karena tidak adannya ujian ulangan, sehingga mengharuskan mereka lulus dalam UN. Dalam konteks inilah maka persiapan dilakukan baik oleh siswa,  guru, maupun stakeholders lainnya.
Salah satu persiapan yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah menyelenggarakan pemantapan. Persiapan pemantapan, tidak hanya melibatkan siswa dan guru, tetapi juga orang tua siswa. Begitu bersemangat pihak sekolah mengundang orang tua siswa untuk berdiskusi menyukseskan pelaksanaan pemantapan demi sukses UN. Lalu apakah dengan cara itu pemantapan sudah berjalan dengan baik?
Ternyata harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Fenomena Degradasi Pemantapan mulai menyentuh sebagian besar siswa. Berbagai alasan muncul, seperti jenuh dengan kegiatan pemantapan, payah setelah belajar ½ hari penuh, tidak konsentrasi, pelaksanaan pemantapan yang monoton, dan lain-lain. Apapun alasannya, semua itu menjadi bukti bahwa telah terjadi degradasi motivasi, hancurnya kepercayaan, dan pesimis terhadap penyelenggaraan pemantapan. Berbagai tindakan pun telah dilakukan oleh pihak panitia pemantapan, seperti pemanggilan siswa dan pemanggilan orang tua siswa. Apakah dengan tindakan itu sudah mampu memperbaiki keadaan?
Ternyata tidak. Semua tindakan yang dilakukan ibarat jauh panggang dari api. Tidak langsung mengubah keadaan secara signifikan. Bahkan muncul fenomena kucing-kucingan antara panitia pemantapan dengan siswa. Di mana, siswa yang dapat menghindari dan lolos dari kejaran panitia akan merasa bangga. Sungguh merupakan awal keterpurukan pelaksanaan pemantapan. Lalu, apa yang semestinya dilakukan?
Perkara pemantapan harus dihadapi secara bersama-sama. Tidak akan efektif  jika hanya dilakukan oleh panitia saja. Dalam hal ini kerjasama yang baik antara siswa, guru, orang tua siswa, dan masayarakat harus dipupuk. Kesadaran akan pentingnya pemantapan harus dibangun sehingga hadir sebagai motivasi dari dalam diri. Bagaimana cara melakuannya?
Pertama, siswa hendaknya diajak bersama-sama menyusun jadwal pemantapan. Akibatnya, siswa langsung atau tidak langsung akan bertanggung jawab secara moral untuk mengamankan jadwal yang telah disusunnya. Agaknya kurang efektif dan bukan jamannya lagi, semua kegiatan bersifat sepihak. Kondisi yang diciptakan harus melibatkan siswa sebanyak mungkin. Adalah kesia-siaan, jika panitia berpeluh dengan program sementara siswa kering dengan aktivitas. Pendekatan secara hati nurani, dengan mengajak mereka untuk bicara dari hati-ke hati juga merupakan hal yang patut dilakukan. Janganlah memandang siswa itu sebagai objek semata, tetapi pandanglah mereka sebagai subjek yang menentukan keberhasilan program pemantapan. Bahkan, jika ada usulan untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan pemantapan pada hari-hari tertentu, wajib hukumnya dipertimbangkan. Inilah bentuk pendekatan hati nurani yang diyakini mampu mengubah pandangan siswa terhadap pemaksaan yang dilakukan panitia untuk mengikuti pemantapan.
Kedua, guru dalam memberikan pemantapan hendaknya menggunakan metode yang bervariasi. Bahkan dengan lokasi yang dapat berpindah-pindah. Jangan ada kesan guru terpaksa memberikan pemantapan, karena program semata. Tetapi, guru harus ikhlas sebagai pelayan siswa untuk membimbing siswa mencapai puncak kesuksesan. Guru adalah faktor penentu  keberhasilan siswa, oleh karena itu cara-cara smart dalam pembahasan soal harus diberikan kepada siswa. Guru tidak boleh merasa pintar sendiri, tetapi harus membantu siswa untuk mampu menyelesaikan soal secara sederhana dan cepat. Dalam hal inilah maka kreativitas guru harus hadir sebagai pemicu dan pemacu belajar siswa.
Siswa dan guru saja tidak cukup untuk menyukseskan penyelenggaraan pemantapan. Tetapi, orang tua siswa dan masyarakat juga harus memberikan dukungan penuh. Bagaimana mungkin pemantapan dapat berjalan kalau orang tua siswa tidak memberikan dukungan kepada anaknya untuk mengikuti pemantapan? Bagaimana mungkin pemantapan bisa sukses, kalau masyarakat apriori terhadap penyelenggaraan pemantapan? Orang tua siswa dan masyarakat adalah faktor lingkungan yang sangat besar berpengaruh terhadap penyelenggaranaan pemanatapan. Oleh karena itu, pihak sekolah melalui panitia pemantapan harus bekerja sama secara sungguh-sungguh. Jangan ada dusta di antara kita. Keikhlasan adalah kunci keberhasilan.
Dengan pendekatan hati nurani itu, maka sangat diyakini akan mampu menyelenggarakan pemantapan dengan baik. Marilah kita memulai yang mulia dengan menghilangkan otoritas, dengan mengedapankan kebersamaan, dan dengan menghancurkan birokrasi. Karena pemantapan akan berjalan dengan baik jika siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, mendukung dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Siapa yang menabur keiklhasan akan menuai kedamaian. Semoga dengan pemantapan yang efektif dan efisien, kelulusan dapat dicapai seratus persen. Yakin, yakinlah, dan pasti sukses!
Selengkapnya.. »»  

Pemenang SMA Negeri Bali Mandara angkatan 2011/2014

PEMENANG PROGRAM BEASISWA SAMPOERNA ACADEMY
SMA NEGERI BALI MANDARA ANGKATAN 2011/2014

Memilih sekolah yang berkualitas dengan biaya mahal itu biasa. Tetapi, diterima pada sekolah bertaraf internasional tanpa biaya, nah itu baru luar biasa. Sekali lagi luar biasa. Fakta di lapangan menunjukkan begitu banyak keraguan, kebingungan, dan bahkan keputusasaan para siswa berprestasi dari lingkungan keluarga kurang mampu untuk melanjutkan studi baik di tingkat SMA apalagi perguruan tinggi. Biaya adalah alasan utama dan pertama dari fenomena itu. Dalam konteks itulah maka sangat relevan dan signifikan program pemerintah Provinsi Bali dengan dukungan Sampoerna Foundation untuk menghadirkan SMA Negeri Bali Mandara yang bertaraf Internasional. SMA ini menawarkan beasiswa penuh kepada peserta didik yang berprestasi dan dari keluarga kurang mampu.
Lalu, siapa yang dinyatakan sebagai  Pemenang program beasiswa sampoerna academy SMA Negeri Bali Mandara angkatan 2011/2014? Berikut disajikan daftarnya:


Selengkapnya.. »»  

Hasil Timnas IChO 2010

TIMNAS ICHO 2010
RAIH 1 EMAS, 1 PERAK, 2 PERUNGGU
Oleh: Gede Putra Adnyana

Timnas Indonesia di ajang IChO ke-42, yang dilaksanakan di Jepang, Tokyo dari tanggal 19 sampai 28 Juni 2010, meraih 1 emas, 1 perak dan 2 perunggu. Noel Yohannes Manuputty (SMA Penabur Gading Serpong), berhasil memperoleh medali emas. Alimatun Nashira (SMA 1 Yogyakarta) meraih medali perak. Sedangkan Agung Hartoko (SMA Taruna Nusantara) dan Stephen Haniel Yuwono (SMA 1 Purwokerto), memperoleh medali perunggu. Hasil ini merupakan rekor terbaik sejak Indonesia mengikuti ajang IChO selama 14 tahun. Tahun depan bertepatan dengan Tahun Internasional Kimia (ICY 2011), IChO akan dilaksanakan di Ankara, Turkey dari tanggal 9-18 Juli 2011 (http://www.chem-is-try.org,/artikel_kimia/berita/timnas-indonesia-raih-hasil-terbaik-di-42nd-icho-olimpiade-kimia/).
Bagaimana dengan Timnas Indonesia IChO 2011? Keberhasilan timnas IChO tahun 2010 merupakan tantangan sekaligus peluang. Mempertahankan hasil terbaik itu diyakini sangat berat. Peserta lain, dari berbagai negara tentu akan berusaha mengejar ketertinggalan dan menyempurnakan berbagai kekurangan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Kondisi ini menimbulkan motivasi kuat untuk belajar dan meraih prestasi tinggi. Akibatknya, persaingan IChO tahun 2011 diyakini pula semakin berat. Inilah tantangan yang hendaknya disadari timnas Indonesia pada ajang IChO ke-43 di Ankara, Turki. Namun, peluang untuk mempertahankan bahkan meningkatkan hasil tetap terbuka lebar. Pengalaman para juara tentu dapat dijadikan pelajaran untuk meraih hasil yang lebih baik. Sifat dan sikap yang tidak cepat takabur dan berpuas diri adalah keniscayaan untuk ditumbuhkembangkan dalam dari timnas IChO. Tidak hanya itu, rasa percaya diri juga tidak boleh runtuh diantara mereka. Kemampuan untuk meraih hasil terbaik telah ditunjukkan oleh tim terdahulu, maka ini dapat dijadikan indikasi bahwa ada potensi yang luar biasa untuk selalu mencapai hasil lebih baik. Semoga!
Mari dukung timnas Indonesia pada IChO ke-43 tahun 2011!!!

Selengkapnya.. »»  

Peningkatan Mutu Sekolah

ADA APA DENGAN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH?
Oleh: Gede Putra Adnyana

Mutu pendidikan di sekolah mencakup input, proses, dan output. Faktor-faktor yang terkait dengan mutu pendidikan, seperti diagram:
INPUT

PROSES

OUTPUT
Input sumber daya: (kepsek, guru, pegawai, siswa, perlengkapan, dan uang)
Input sumber perangkat lunak: (struktur organisasi, deskripsi tugas, rencana, peraturan)
Input harapan: (visi, misi, tujuan dan sasaran

-->
Pengambilan keputusan, pengelolaan, kelembagaan, pengelolaan program, PBM, proses monitoring dan evaluasi
-->
Kualitas, efektivitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, moral kerja
Suatu sekolah dikatakan berkualitas atau bermutu, jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi, yang meliputi:
1)   Prsetasi akademik, berupa nilai ulangan akhir semester, ulangan kenaikan kelas, ujian sekolah, ujian nasional, karya ilmiah, dan lomba-lomba akademik lainnya;
2)  Prestasi non akademik, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, imtaq, kejujuran, kesopanan, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya
Dalam upaya peningkatan mutu di sekolah, maka harus tersusun program peningkatan mutu yang mencakup: a) tujuan, b) sasaran, dan c) target. Untuk menyusun program tersebut perlu mengaplikasikan 4 teknik, yaitu 1) school review untuk mengevaluasi efektivitas sekolah dan mutu lulusan, 2) benchmarking untuk menetapkan standar dan target, 3) quality assurance  merupakan jaminan keberlangsungan program, dan 4) quality control untuk mendeteksi penyimpangan kualitas.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa hal teknis yang perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan mutu sekolah, antara lain:
1. Pembagian Tugas yang Efektif dan Efisien
a)  Wakil kepala sekolah, merupakan pembantu kepala sekolah, yang selalu berkreativitas untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu wakasek setiap saat harus selalu berpikir dan bertindak untuk kemajuan sekolah. Dengan demikian beban seorang wakasek sangat berat sebagai pemikir, inovator yang penuh idialisme dalam membantu kepala sekolah. Oleh karena itu wakasek hendaknya:
v Menunjukkan frekuensi kehadiran di sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan staf lainnya untuk selalu dapat mengkaji dan menindaklanjuti setiap insiden yang terjadi di sekolah;
v Tidak merangkap jabatan, yang dapat mengganggu tugas-tugasnya sebagai wakasek yang memang sudah berat;
v Tidak membawa uang, sehingga resiko kesalahan pengadministrasian dapat diperkecil. Setiap dana (uang) hendaknya dibawa oleh bendahara yang ditunjuk kepala sekolah.
b)  Revitalisasi Wali kelas dan Wasbimbri. Wali kelas adalah kepala sekolah di kelas bersangkutan, sehingga wajib hukumnya mengetahui kondisi aktual dan kontekstual yang ada di kelas. Adalah sangat ironis, jika seorang wali kelas tidak tahu jumlah siswa di kelasnya. Bagaimana dapat memanage kelas kalu tidak care dengan situasi dan kondisi kelas. Sedangkan wasbimbri memberikan bimbingan setiap hari terhadap siswa yang melanggar. Wasbimbri bukanlah polisi, sehingga tidak perlu berwajah seram, apalagi menakutkan. Peran dan fungsi Wasbimbri adalah menyadarkan siswa dengan terus menerus memberikan peringatan dan arahan tentang tata tertib sekolah.
2. Pemanfaatan Dana yang Proporsional dan Profesional
Dana komite (dana orang tua siswa), perlu digunakan dan dipertanggung-jawabkan dengan bijaksana. Sebab penggunaan dana yang efektif dan efisien merupakan modal dasar untuk mendapatkan kepercayaan berikutnya dari semua anggota komite sekolah. Oleh karena itu, perlu diperhatikan:
v Setiap sisa dana dari program sebelumnya, hendaknya dikelola secara bijaksana. Dalam hal sisa dana dapat dijadikan sebagai modal untuk memprogramkan percepatan pencapaian mutu. Oleh karena itu pengelolaan dana komite hendaknya lebih proporsional dan propesional. Pertanggungjawaban dana komite jangan hanya diketahui oleh petugas yang mengurus dana itu saja, tetapi kepada semua pendidik dan tenaga kependidikan.
v Penggunaan dana komite, sedapat mungkin secara efektif dan efisien. Hal ini karena kondisi krisis di segala bidang agar beban siswa dapat diperkecil. Oleh karena itu sangat diperlukan dapat memilih dan memilah kegiatan (baik OSIS/siswa maupun guru) dengan mempertimbangkan potensi, biaya, waktu, tenaga, dan level lomba.
3. Program Peningkatan Mutu Sekolah
Secara sederhana untuk dapat menyusun program peningkatan mutu maka perlu dilakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang perlu dilakukan sekolah, diantaranya:
a)  Bimbingan, pemantapan dan pengayaan mata pelajaran. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pembinaan dan sarana pendukungnya. Untuk itu sisa dana dapat digunakan sebagai salah satu pendukung kegiatan dimaksud.
b)  Pembinaan Tim Olimpiade Sains Nasional. Segera dilaksanakan dengan mekanisme dan target yang jelas.
c)  Persiapan Guru dan Siswa berprestasi. Agar mulai dipersiapkan sehingga dapat mencapai target yang diharapkan.
d)  Bimbingan Karya tulis ilmiah. Dalam rangka meningkatkan daya analisis kritis siswa yang berdampak langsung terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
e)  Bimbingan Budaya Lokal.
f)  Dan potensi lain yang belum tergali.
4. Pembentukan Tim Sukses Peningkatan Mutu Sekolah
Informasi pada berbagai kompetisi/kejuaran, tidak semua diterima pihak sekolah secara tertulis. Oleh karena itu perlu ada tim yang bertugas menginventaris, menganalisis, mengkonsultasikan, menkoordinasikan, dan menindaklanjuti berbagai lomba dimaksud, baik yang diterima secara tertulis maupun melalui media cetak dan elektronik. Untuk itu ada dua tim, yaitu:
a)  Tim Sukses Bidang Akademis, yang membidangi lomba mata pelajaran, olimpiade, lomba karya tulis, lomba pidato, darma wacana, dan lain-lain
b)  Tim Sukses Bidang Non Akademis, yang membidangi, lomba olah raga, seni, keterampilan, dan lain-lain

Referensi
Depdikbud. 1999. Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta: Direktorat Dikmenum, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Edisi 3. Jakarta: Direktorat Dikmenum, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas
Vincent P. Costa, dkk. 2000. Panduan Pelatihan Untuk Pengembangan Sekolah. Jakarta: Direktorat Dikmenum, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas

“Peningkatan Mutu adalah Kerja Keras Kolektif Semua Unsur Terkait”

“Perubahan yang postif adalah prestasi”

Selengkapnya.. »»