MENEMBUS “TEMBOK IV/b” MELALUI PTK
Oleh: Gede Putra Adnyana
1. Rasional
Jumlah guru pegawai negeri sipil yang tercatat pada data Badan Kepegawaian Nasional Tahun 2005 sekitar 1,4 juta. Sebagian besar guru-guru tersebut berada pada golongan III/a – III/d yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun guru yang bergolongan IV sebanyak 336.601, dengan rincian golongan IV/a sebanyak 334.184, golongan IV/b berjumlah 2.318, golongan IV/c sebanyak 84, dan Golongan IV/d ada 15 guru (Kompas.com, 26 Maret 2009). Dari keseluruhan jumlah guru yang bergolongan IV, terdapat 99,28% bergolongan IV/a dan hanya 0,69% bergolongan IV/b. Artinya, ada “tembok tebal dan tinggi” yang sulit ditembus sebagian besar guru untuk dapat naik pangkat dari golongan IV/a ke IV/b. Fenomena itu terjadi secara nasional dan sampai saat ini masih merupakan permasalahan yang belum mendapatkan solusi secara signifikan. Kondisi ini juga terjadi di Provinsi Bali, di mana masih sangat langka menemukan guru yang bergolongan IV/b. Bahkan, jika dibandingkan antara guru yang begolongan IV/b dengan guru yang telah menyelesaikan studi magister, masih lebih banyak ditemukan guru yang bergelar magister. Fakta ini semakin menguatkan hipotesis bahwa menerobos golongan IV/b sangat sulit.
Salah satu faktor yang menjadi kendala sebagian guru naik pangkat ke golongan IV/b, adanya kewajiban mengumpulkan minimal 12 angka kredit untuk pengembangan profesi. Angka kredit kegiatan pengembangan profesi dapat dikumpulkan dari kegiatan menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI), menemukan Teknologi Tepat Guna, membuat alat peraga/bimbingan, menciptakan karya seni dan mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum (Suhardjono, 2008). Berkaitan dengan karya ilmiah hasil penelitian di bidang pendidikan yang dipublikasikan, jika berbentuk buku dan diedarkan secara nasional mendapatkan angka kredit sebesar 12,5, dan jika dimuat dalam majalah ilmiah yang diakui Depdiknas, angka kreditnya sebesar 6. Sedangkan karya tulis ilmiah hasil penelitian di bidang pendidikan yang tidak dipublikasikan, tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah, jika berbentuk buku maka setiap karya mendapatkan angka kredit sebesar 8 dan yang berbentuk makalah mendapatkan angka kredit sebesar 4 (Kepmen Dikbud No. 025/O/1995). Namun, sebagian guru menganggap kegiatan-kegiatan pengembangan profesi dimaksud cukup berat dilaksanakan karena membutuhkan kemauan dan kemampuan, serta pengorbanan waktu, biaya, tenaga dan pikiran. Akhirnya, pengembangan profesi guru hanya melekat pada tataran idealisme tanpa pernah terimplementasikan.
Artikel Terkait:
Artikel
- Konsep Tri Angga Busana Adat Bali
- Narasi dan Eksekusi Sampah Plastik dalam Pararem
- Bentuk Soal UN 2015 yang Menakutkan
- Ada Apa dengan UN 2015?
- Reaksi Reduksi dan Oksidasi (Bagian-1)
- Mengapa Umat Hindu Melaksanakan Siwa Ratri?
- UN 2015 Tidak Lagi Penentu Kelulusan
- Siapa Bilang Kurikulum 2013 Dicabut?
- Sasaran Dan Penilaian Kerja Pegawai
- Penerapan K-13 untuk Sekolah Terpilih
- Memuliakan Guru, Mungkinkah?
- 7 Alasan Orang Kaya Pelit Sumbangan
- Menuju Hybrid Learning Models Pada Kurikulum 2013
- Hitam Putih Kurikulum 2013 di Tangan Guru
- Ketika Nilai Rapor untuk SNMPTN
- Menggantung Harapan Pada Tim TPG
- Kampus Terpopuler Asia 2013
- Guru Menulis: Momentum dan Tantangan
- Ancaman UN di Kelas XI
- Lenyapnya RSBI-SBI
- 24 Jam Tatap Muka Perminggu Kurang Proporsional
- 5 Unsur Esensial Inquiry
- Hati-Hati Merekrut Pelatih Inti Untuk Kurikulum 2013
- Karut Marut TPG Bukti Ketidakberpihakan Pemerintah
- Penyiapan Guru Sebagai Implementator Kurikulum 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis