Meskipun pihak Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengaku bahwa penyusunan Kurikulum 2013 dimulai 2010,
tetapi kegiatan itu marak setelah lontaran ide Boediono tentang relevansi dan
beban pelajaran di sekolah kita.
Menurut Wakil Presiden Boediono,
tersebab konsepsi substansi pendidikan yang sampai saat ini tak jelas,
timbullah kecenderungan memasukkan segala yang dianggap penting ke dalam
kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik, tetapi tak
jelas apakah anak mendapatkan sesuatu yang seharusnya dari pendidikannya. Sudah
waktunya, tegas Boediono, memikirkan apa yang seyogianya diajarkan agar manusia
Indonesia mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsanya (Kompas, 29/8/2012).
Tak mudah menentukan apa yang
selayaknya diajarkan di sekolah agar relevan dengan kebutuhan bangsa, apalagi
untuk mengantisipasi perkembangan masa depan yang gaib. Menyusun kurikulum
mengharuskan kita mengobyektivikasi dasar-dasar normatif kebangsaan dan
pendidikan dengan memperhitungkan segenap potensi dan situasi yang senantiasa
berubah. Kebermaknaan sebuah kurikulum justru terletak pada kecermatan logis
menghubungkan antara hal-hal prinsipiil dengan hal-hal riil itu, kemudian
mengkristalisasikannya pada mata pelajaran. Tanpa kesungguhan, perubahan
kurikulum hanya mengutak-atik apa yang ada dengan dibumbui pengantar yang muluk.
Kurikulum 2013, selain dirumuskan
tergopoh, sepertinya juga disusun atas dasar substansi pendidikan yang tetap
tak jelas sehingga rujukan utamanya hanyalah pikiran pemerintah (baca:
Kemdikbud) yang telah terobsesi gagasan keren, tetapi mengambang, yaitu
pendidikan karakter dan daya saing. Alhasil, produknya tidak menunjukkan suatu
koherensi yang utuh.
Ketakseimbangan orientasi
Dalam banyak kesempatan, Mendikbud
dan jajarannya menyatakan bahwa perubahan ini perlu dilakukan untuk menjawab
tantangan zaman yang terus berubah agar anak-anak mampu bersaing pada masa
depan. Namun, dari enam mata pelajaran sekolah dasar yang ditetapkan
menunjukkan ketakseimbangan antara mata pelajaran yang berorientasi pada masa
lampau, yang lebih menekankan pada pewarisan nilai-nilai, dan mata pelajaran
yang membentuk pola pikir murid untuk menghadapi masa depan yang sarat dengan
nalar dan konsep saintifik.
Mata pelajaran Agama, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), serta Bahasa Indonesia selain mengawetkan
”pusaka” bangsa, bersama Matematika adalah rumpun pengetahuan yang bersifat
deduktif yang menuntun berpikir aksiomatis apriori dari dalil-dalil yang umum.
Sementara sains (seperti IPA dan IPS) adalah pengetahuan ”ilmiah” yang
terbentuk dari model berpikir induktif aposteriori, bertolak dari fakta-fakta
empirik yang partikular. Ketakseimbangan ini akan memengaruhi alur dan kekuatan
berpikir serta nalar kritis anak.
Bangsa Indonesia yang masih
diliputi alam pikiran mitis dan mistis kiranya perlu pendidikan yang
menumbuhkan budaya menalar secara saintifik sejak dini. Oleh sebab itu, mata
pelajaran sains (IPA dan IPS) di SD, khususnya di kelas lanjut, seharusnya
berdiri sendiri, tak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain. Sementara
pada kelas I-III SD semua materi dan nilai-nilai mata pelajaran cukup
disampaikan dalam tiga mata pelajaran: Membaca, Menulis, dan Berhitung.
Pengintegrasian IPA dan IPS
semakin menampakkan kerancuan ketika Mendikbud menyatakan—dalam pidato
peringatan Hari Guru Nasional 2012—bahwa Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan
berbasis sains, yaitu mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam melakukan
observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan) dengan
obyek pembelajaran fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Bagaimana
logikanya, sesuatu (sains) yang dicantolkan dapat menjadi basis?
Ekstrakurikuler wajib
Daripada mengimplisitkan sains
(IPA dan IPS) ke mata pelajaran lain, akan lebih baik jika mengeluarkan
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) dan Seni Budaya, kemudian
menjadikannya sebagai ekstrakurikuler wajib. Dua mata pelajaran ini (juga
keterampilan) tak jelas tujuan institusional dan kurikulernya sehingga perlu
dirumuskan kembali.
Misalnya, tujuan
penjaskes/olahraga di sekolah umum? Apakah agar murid sehat, segar, dan
mengapresiasi kesehatan atau supaya jadi olahragawan, atau pengamat olahraga?
Faktanya, para olahragawan ulung kita, seumpama Rudy Hartono, Bambang
Pamungkas, Chris John, tidak mendapatkan kemahirannya dari sekolah. Bila tujuan
pendidikan olahraga agar murid segar dan sehat, cukuplah kepada mereka
diberikan senam pagi dan bermain- main seperlunya ketika waktu istirahat, tak
perlu semua murid mendapatkan penjaskes yang seragam.
Seharusnya setiap murid
mendapatkan penjaskes dan seni budaya sesuai bakat dan minat yang mereka
miliki, karena itu tak layak diberikan secara klasikal. Pendidikan olahraga dan
seni budaya di sekolah mestinya berkelindan dengan strategi pembangunan
keolahragaan dan kebudayaan (punyakah strategi itu?). Pemerintah/pemerintah
daerah bersama sekolah bersinergi memfasilitasi berbagai kebutuhan sehingga,
misalnya, pada setiap kecamatan atau kelurahan terdapat minimal satu lapangan bola
kaki, kolam renang, sanggar/gedung kesenian standar yang dapat dipergunakan
oleh masyarakat dan sekolah sekitar. Sekolah dan guru penjaskes serta kesenian
mengoordinasi dan bertanggung jawab atas terselenggaranya berbagai program dan
kegiatan ekstrakurikuer tersebut. Dengan demikian, aktivitas olahraga dan seni
budaya akan berakar, bertumbuh, dan berkembang dalam masyarakat secara terarah.
Dengan masuk kurikulum, semua
murid dipaksa dapat materi dan kegiatan penjaskes, kesenian, dan keterampilan
seragam. Sementara itu, karena keterbatasan fasilitas dan kemampuan guru,
pembelajaran pun menjadi teoretis. Sejak kelas I SD, murid lebih banyak
membaca, mencatat, dan menghafal, kemudian diuji tentang berbagai definisi
seperti ”berenang gaya kupu-kupu” tanpa berenang dan bermacam teori musik tanpa
bernyanyi.
Menghadapi Kurikulum 2013 tak
perlu antusiasme tinggi karena tak menjanjikan banyak kemajuan seperti
diharapkan Boediono. Bahkan dengan mengetengahkan konsep pembelajaran tematik
dan intergratif bukan saja akan makin merumitkan para guru, yang juga harus
mengejar target UN, tetapi juga memperluas kemungkinkan beberapa nilai pokok
dan penting dari mata pelajaran terbengkalai.
Kegaduhan Kurikulum 2013 segera
lindap seiring berlalunya tahun anggaran dan—seperti biasanya—para guru akan
melanjutkan saja yang lama meski dengan merek baru.
Oleh Mohammad Abduhzen
Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/13/16344050/Kerancuan.Kurikulum.2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis