Secuil Tentang Penerimaan PNS

Sampai saat ini animo generasi muda menjadi pegawai negeri sipil (PNS) masih tinggi. Pakaian seragam, bersih dan licin serta sepatu hak tinggi menjadi salah satu daya tarik, tinimbang petani atau nelayan yang identik dengan kekotoran. Di lain pihak kerja yang tidak banyak menguras tenaga, sehingga terkesan santai dengan gaji yang lumayan adalah daya tarik lainnya.

Ketika PNS masih menjadi incaran kaula pencari kerja maka kompetisi merebut status itu semakin ketat. Mucullah berbagai permasalahan yang menyertai setiap penerimaan PNS, baik di daerah maupun pusat. Nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak terbantahkan. Bahkan, fenomena suap atau sogok atau uang pelicin atau apalah namanya tak terelakkan serta sudah menjadi pengetahuan publik. Akibatnya, hadirlah PNS yang tidak berkompetensi dan tidak berdedikasi. Kondisi inilah yang akhirnya memunculkan PNS dengan kinerja rendah, rakus, dan tidak bertanggung jawab.

Dalam konteks inilah, patut dilakukan kajian mendalam terhadap sistem penerimaan PNS. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem penerimaan PNS secara terpusat. Artinya, mulai dari kuota, teknik pelaksanaan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengumuman pelulusan dilakukan oleh pusat. Dalam hal ini daerah, hanya berkewajiban melakukan analisis kebutuhan PNS pada berbagai bidang. Data dari masing-masing kabupten/kota selanjutnya direkapitulasi provinsi untuk selanjutnya disetor kepada pusat (Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara). Pusat selanjutnya menganalisis kebutuhan serta kemampuan anggaran sehingga dapat diputuskan kuota penerimaan PNS untuk masing-masing kabupaten/kota.

Langkah tersebut relatif mudah dilakukan dan cenderung memperoleh hasil yang objektif. Langkah berikutnya, yaitu mekanisme seleksi PNS di masing-masing kabupaten/kota. Langkah inilah yang sangat rawan dengan KKN. Fakta, di lapangan menunjukkan PNS yang lulus seleksi disinyalir memiliki kedekatan dengan para pejabat di daerah. Kalau tidak anak, mungkin ponakan, menantu, adik, atau ipar. Bahkan, isu tentang suap menyuap sudah menjadi rahasia umum di telinga publik. Pendek kata, seleksi PNS penuh dengan warna kecurangan dan bahkan kejahatan.

Untuk itu, pusat harus membentuk tim yang terdiri dari unsur-unsur yang kredibel dan berkompeten serta tidak mempunyai unsur kepentingan. Dalam hal ini pusat dapat membentuk tim seleksi PNS yang berasal dari unsur akademisi dan teknisi yang independen. Tim ini bekerja melakukan seleksi PNS di masing-masing kabupaten/kota. Dengan catatan, tim yang ditugaskan tidak berasal dari daerahnya sendiri. Argumentasi yang mendasari adalah karena tim pusat yang dibentuk tidak mempunyai kepentingan terhadap calon-calon PNS baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, tim dapat bekerja secara proporsional dan profesional. Di sinilah kualitas tim seleksi PNS akan diuji baik objektivitasnya maupun mentalnya. Tim harus bekerja transparan, jujur, adil, tanpa ada kepentingan, dan penuh tanggung jawab.

Pemeriksaan dilakukan secara terpusat, dengan maksud agar intervensi pihak-pihak yang berkepentingan di daerah dapat diminimalisir. Hasil seleksi juga harus disampaikan oleh pusat, sehingga pihak daerah hanya menerima hasil seleksi tim pusat. Dalam hal ini semua proses harus dilakukan secara transparan dengan memanfaatkan dunia maya, baik web khusus maupun web pusat dan kabupaten/kota. Sehingga, setiap peserta seleksi dapat memantau perkembangannya dengan segera. Muara dari semua ini adalah untuk menghasilkan PNS yang berkualitas. Mungkinkah? Jika ada ketulusan dan keikhlasan, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Semoga. (putradnyana)

Tersedia juga di: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/03/secuil-tentang-penerimaan-pns/

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis