MANAK SALAH DAN PELANGGARAN HAM
Oleh: Gede Putra Adnyana
Kelahiran bayi kembar, baik kembar normal maupun abnormal merupakan fenomena yang lazim pada dunia medis. Demikian pula halnya dengan kelahiran bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda. Dari kajian medis dan hukum, fenomena ini tidaklah bermasalah. Namun, lain halnya jika ditinjau dari kajian adat-istiadat atau budaya lokal. Ternyata, di beberapa daerah, fenomena ini menjadi masalah. Permasalahan muncul akibat dari benturan nilai-nilai konservatif tradisional dengan nilai-nilai modern yang terus mengalami perubahan. Di Bali, fenomena kelahiran bayi kembar, laki dan perempuan, disebut dengan Manak Salah.
Fenomena Manak Salah di beberapa daerah di Bali, masih ditemukan. Bahkan, beberapa daerah menuliskan konsep Manak Salah ini ke dalam awig-awig desa atau peraturan desa. Di dalam awig-awig desa, dinyatakan bahwa masyarakat yang melahirkan bayi kembar laki dan perempuan atau Manak Salah, dinyatakan telah mencemari lingkungan desa. Pencemaran dimaksud berkaitan dengan kesucian lingkungan desa secara adat. Seseorang dan atau keluarga yang Manak Salah wajib dikenakan sanksi adat. Salah satu sanksi yang dialami oleh keluarga Manak Salah yaitu Kasepekang atau dikucilkan. Kesepekang artinya disingkirkan, yaitu menyingkirkan seseorang yang bersalah dengan maksud agar kesalahan tersebut tidak menular kepada masyarakat sekitarnya. Dalam ajaran agama Hindu, orang yang bersalah wajib di hukum, tetapi hukuman harus adil dengan tujuan orang sadar akan kebenaran, bukan membuat orang dendam.
Beberapa daerah di Bali, ternyata masih menerapkan sanksi Kasepekang. Salah satu sanksi Kasepekang tersebut, dialami oleh keluarga yang Manak Salah. Pelaksanaan sanksi Kasepekang bagi yang Manak Salah dilakukan dengan cara mengharuskan keluarga itu mengungsi ke kuburan desa selama satu bulan tujuh hari (abulan pitung dina). Sanksi ini tentu tidak sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu, karena sanksi ini bukan menyebabkan orang menjadi sadar, akan tetapi justru menimbulkan dendam kesumat. Oleh karena itu, sanksi Kasepekang ini sangat tidak sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai ajaran agama Hindu. Di lain pihak sanksi Kasepekang bagi keluarga Manak Salah juga melanggar hukum positif di Negara Republik Indonesia. Hal ini karena tidak ada satu pun perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa seseorang yang melahirkan bayi kembar laki dan perempuan adalah melanggar hukum.
Istilah Manak Salah muncul dari adanya mitos pada jaman kerajaan dahulu kala. Pada saat itu permaisuri raja melahirkan anak kembar, laki dan perempuan. Sesuai dengan saran penasehat kerajaan, kedua bayi itu dipisahkan dan dibesarkan pada tempat berbeda. Kelak, setelah dewasa, keduanya akan dikawinkan dan dinobatkan sebagai raja serta permaisuri. Menurut penasehat kerajaan, peristiwa ini merupakan peristiwa langka dan dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat kerajaan tersebut. Tetapi, jika ada rakyat jelata yang melahirkan bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda maka disebut Manak Salah. Makna dari Manak Salah yaitu bahwa rakyat jelata tidak berhak mengikuti fenomena yang dialami oleh sang raja beserta permaisurinya. Rakyat jelata yang Manak Salah wajib dikenai sanksi berupa dikucilkan atau diusir dari lingkungan kerajaan. Mitos inilah yang akhirnya menyababkan beberapa daerah di Bali masih mengenal dan menerapkan sanksi bagi masyarakat yang Manak Salah.
Kondisi zaman kerajaan memberikan ruang dan waktu menerapkan sanksi kepada Manak Salah. Banyak faktor yang mempengaruhi hadirnya konsep atau istilah Manak Salah, baik politik, ekonomi, maupun hukum. Saat ini, konsep Manak Salah merupakan fakta yang patut dikaji dari sudut hak asasi manusia (HAM). Ditinjau dari adat-istiadat dan budaya lokal, konsep Manak Salah diterima oleh masyarakat sebagai konsekuensi logis dari warisan budaya leluhur. Kepercayaan yang turun-temurun nyaris tidak ada yang berani mengubahnya dan diterima apa adanya. Akibatnya, sampai saat ini penerapan sanksi kepada masyarakat yang Manak Salah masih diberlakukan. Di lain pihak, dari kajian hak-hak manusia, konsep Manak Salah bertentangan dengan HAM. Produk sebuah kelahiran tidak ada yang bisa menentukan karena itu adalah kuasa Illahi. Manusia boleh merencanakan, akan tetapi yang menentukan tetap Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dari konsep ketuhanan dan kemanusiaan, peristiwa Manak Salah sama sekali tidak bersalah. Oleh karena itu, konsep dan penerapan sanksi bagi Manak Salah jelas melanggar HAM. Dari konteks inilah maka harus ada komunikasi yang intens antara komponen pelestari warisan budaya dengan pemerhati HAM.
Para pemerhati warisan budaya leluhur hendaknya bisa memilih dan memilah berbagai budaya yang relevan dengan perkembangan zaman. Tidak hanya itu, berbagai warisan budaya tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku termasuk tidak melanggar HAM. Upaya ini tidak mudah. Diperlukan kesabaran, pendekatan, dan keberlanjutan komunikasi dengan masyarakat pewaris budaya leluhur. Dalam hal inilah, pemerintah menjadi sangat penting hadir sebagai fasilitator. Di lain pihak, para pemerhati HAM hendaknya berupaya membangun kesadaran di kalangan masyarakat agar setiap perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak melanggar hak asasi manusia. Upaya penyadaran ini akan terkendala oleh tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, maka meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Jika kondisi ini dapat terwujud, maka upaya untuk menghubungkan adat-istiadat atau budaya lokal dengan HAM dapat terwujud nyata.
Sanksi Kasepekang atau dikucilkan, juga merupakan hal lain yang harus dicermati. Mengucilkan keluarga yang melahirkan bayi kembar berbeda jenis kelamin, nyata-nyata merupakan pelanggaran HAM. Dari kajian medis, sedikit pun tidak ada sesuatu yang salah jika bayi kembar terlahir berbeda jenis kelamin. Dengan demikian secara ilmiah, kelahiran bayi kembar laki perempuan bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja. Kajian lebih dalam berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional, tidak ada satu peraturan pun yang melarang dan memberikan sanksi terhadap lahirnya bayi kembar berbeda jenis kelamin. Dengan demikian, konsep Manak Salah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku secara nasional. Bahkan, jika sanksi terhadap fenomena Manak Salah ini diterapkan, sangat potensial melanggar HAM.
Oleh karena itu berbagai pihak yang berkepentingan hendaknya menyatukan langkah dan menyamakan persepsi terhadap fenomena Manak Salah di satu pihak dan pelanggaran HAM di pihak lain. Beberapa komponen yang signifikan dan relevan dengan hal tersebut adalah desa pakraman (desa adat), pemerintah, dan pemerhati HAM. Dalam hal ini pihak desa pakraman hendaknya mengkaji secara cerdas awig- awig desa (peraturan desa) yang disusun sehingga tidak bertabrakan dengan hukum positif yang berlaku. Awig-awig tentang Manak Salah, patut dikaji ulang karena berpotensi melanggar HAM. Bendesa pakraman sebagai pemimpin desa pakraman mempunyai kewajiban untuk menyelaraskan isi awig-awig dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bendesa pakraman harus menjadi inisiator sekaligus fasilitator dalam mengelola krama desa pakraman (masyarakat desa) dalam memahami konsep Manak Salah dikaitkan dengan HAM. Dalam hal ini, bendesa pakraman didukung oleh prajuru desa (pengurus di desa adat) lainnya, wajib bahu membahu menyamakan langkah dan menyatukan persepsi terhadap konsep Manak Salah. Bahwa, penghakiman kesalahan terhadap seseorang yang melahirkan anak kembar laki dan perempuan adalah tidak benar. Karena, manusia sesungguhnya tidak pernah mengharapkan kejadian yang melanggar aturan. Manusia hanya bisa berencana, dan hasilnya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Itulah konsep ajaran semua agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian Manak Salah, tidak pernah direncanakan, oleh seseorang, tetapi takdir Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, menghukum seseorang yang tak pernah merencanakan kejadian itu adalah ketidakadilan. Dalam koteks inilah terjadi pelanggaran HAM berat, jika menjatuhkan sanksi kepada seseorang atau keluarga yang Manak Salah. Untuk itu awig-awig yang akan diterapkan di wilayah desa pakraman mestinya dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal lain yang penting diperhatikan yaitu awig-awig tersebut tidak melanggar HAM.
Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pengayom kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, hendaknya mencermati kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Pencermatan dilakukan dalam kerangka mensinergikan dan menyelaraskan kearifan lokal dimaksud sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks Manak Salah, maka pemerintah wajib melakukan pemetaan terhadap daerah yang diduga menerapakan konsep tersebut. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi tentang berbagai perundang-undangan yang berlaku, baik yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara maupun HAM. Untuk itu, pemerintah hendaknya melakukan pendekatan secara persuasif sehingga tidak ada ketersinggungan di kalangan masyarakat. Hal ini karena masyarakat menerima konsep tersebut secara turun temurun, sehingga merupakan kepercayaan yang sangat kuat. Oleh karena itu upaya penyadaran terhadap masyarakat hendaknya dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga setiap perubahan dapat dipahami dengan baik.
Pemerhati HAM merupakan komponen yang signifikan dalam mencermati setiap fenomena yang melanggar hak asasi. Fenomena yang dicermati baik pada tataran lokal, nasional, maupun global. Pada konteks ini, pencermatan terhadap fenomena yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu adalah fokus yang harus diprioritaskan. Hal ini karena, fenomena yang terjadi pada komunitas masyarakat, apalagi yang berada di pedalaman, pada umumnya lepas dari sorotan berbagai kalangan. Fenomena Manak Salah, merupakan salah satu kearifan lokal yang patut dicermati. Manak Salah sarat dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan HAM. Bagaimana mungkin, suatu komunitas masyarakat menghukum seseorang atau keluarga yang melahirkan bayi kembar laki dan perempuan yang tidak pernah direncanakannya. Melahirkan anak kembar laki dan perempuan adalah hal yang manusiawi. Sehingga, fenomena Manak Salah juga bersifat manusiawi dan tidak melanggar norma kesusilaan dan hukum. Dalam konteks inilah maka kelompok pemerhati HAM wajib melakukan identifikasi, dokumentasi, dan verifikasi terhadap berbagai fenomena yang terjadi di tengah masyarakat serta berpotensi melanggar HAM. Ketika semua gejala-gejala itu terdokumentasi dengan baik maka relatif mudah untuk menentukan langkah-langkah antisipasi dan mencarikan solusinya. Oleh karena itu kelompok pemerhati HAM hendaknya aktif dan proaktif serta berada di tengah-tengah masyarakat dalam kerangka membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap eksistensi HAM. Dalam konteks inilah, maka aktivis HAM harus selalu berada di tengah-tengah masyarakat untuk mendampingi mereka dalam upaya mengubah paradigmanya. Langkah ini diyakini sangat sulit, namun dapat dilakukan secara gradual dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan agama, hukum, serta rasa kekeluargaan. Jika kondisi ini dapat diwujudkan maka sedikit demi sedikit tapi pasti pemahaman masyarakat tentang HAM akan semakin meningkat. Akibatnya, berbagai kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur tetap terjaga di satu pihak, dan HAM tetap terjaga di pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis