PELEMBAGAAN HAM
DENGAN KONSEP TRI HITA KARANA
Oleh: Gede Putra Adnyana
Konsep Tri Hita Karana menawarkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dan alam. Sinergi ketiga hubungan ini dalam bingkai segitiga keharmonisan mewujudkan kedamaian. Dalam konteks inilah, hak azasi manusia (HAM) dapat ditumbuhkembangkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan ketiga komponen, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/ konsep-konsep-budaya/tri-hita- karana.html).
Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, di Bali diwujudkan dalam bentuk Dewa Yadnya. Upacara keagamaan DewaYadnya merupakan kegiatan untuk selalu menyadari kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika kesadaran ini mampu ditumbuhkembangkan, maka arogansi manusia dapat direduksi. Akibatnya, pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dapat diminimalkan. Ini berarti secara langsung atau tidak langsung memperkokoh penegakan HAM. Fenomena Dewa Yadnya merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan maksud agar damai di hati dan dunia. Tatkala maksud dan tujuan Dewa Yadnya ini telah melembaga, maka kesombongan sebagai manusia dapat terreduksi. Akibatnya, sikap dan perilakunya akan penuh dengan kesadaran untuk hidup bersama dan sangat menghormati HAM.
Wujud konsep Tri Hita Karana tentang hubungan harmonis manusia dan Tuhan dalam konteks yang lebih luas adalah dalam bentuk toleransi beragama. Sikap toleransi berarti bersifat menenggang atau menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan yang berbeda, termasuk di dalamnya agama. Namun, Atmadja (2010) mengemukakan bahwa sering kali agama diposisikan sebagai identitas suatu etnik. Akibatnya, agama sangat mudah dibangkitkan sebagai sarana menumbuhkembangkan solidaritas sosial internal. Kondisi ini, dimanfaatkan untuk menghadapi kelompok etnik lainnya yang kebetulan berbeda agama. Dalam konteks inilah, peluang terjadinya konflik horizontal dengan kedok agama serta pelanggaran HAM sangat besar terjadi.
Beberapa fenomena ditemukan bahwa agama dijadikan sebagai kedok untuk menolak kehadiran orang atau kelompok lain. Mereka menganggap bahwa agamanya paling benar dan mempunyai hak hidup. Serta agama yang lain adalah salah, tersesat, dan harus diancam hak hidupnya. Kondisi ini sungguh merupakan pelanggaran HAM berat dan mengancam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika hal ini terjadi terus menurus dan dalam waktu yang relatif lama, maka niscaya akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu diperlukan kearifan dari berbagai pihak dalam mengelola berbagai fenomena yang potensial menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM. Salah satu upaya dimaksud adalah dengan menanamkan, membangkitkan, menyegarkan, dan melembagakan konsep Tri Hita Karana.
Konsep Tri Hita Karana merupakan konsep yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu. Di Bali, konsep Tri Hita Karana berkembang secara sinergis dan merasuk ke berbagai sendi kehidupan. Pada dasarnya konsep Tri Hita Karana bertujuan untuk menghadirkan kedamaian, damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu. Sesungguhnya, mewujudkan kedamaian tidak hanya monopoli agama Hindu, tetapi semua agama pada hakikatnya bertujuan mewujudkan kedamaian dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan A’la (2002), bahwa agama merupakan penuntun kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, pada prinsipnya setiap agama terdiri dari nilai-nilai yang mencerminkan kepedulian tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, semua agama menolak segala bentuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, sesungguhnya semua agama bersinergi dengan HAM. Bahkan, HAM dijiwai oleh ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama baik yang tersurat maupun tersirat. Agar agama berposisi sebagai jiwa HAM, maka konsep Tri Hita Karana wajib diimplementasikan.
Menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan sebagai salah satu konsep Tri Hita Karana, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, setiap orang harus memberikan penghormatan yang tinggi kepada orang lain untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Bahwa, tidak ada satu agama yang lebih tinggi atau lebih baik dari agama lainnya. Demikian pula dengan penganut kepercayaan tertentu, sepanjang tidak mengganggu dan meresahkan kehidupan masyarakat, maka wajib hukumnya dihormati. Tidak ada seorangpun yang dapat mengatur kepercayaan dan keyakinan seseorang, karena itu adalah hak paling hakiki dari setiap manusia. Jika kondis ini dapat terwujud, maka HAM akan terjaga dan terpelihara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Negara wajib memberikan jaminan kepada setiap warga Negara dalam kebebasan memeluk agama dan kepercayaan. Artinya, Negara memberikan jaminan ketentraman dan kedamaian kepada warga Negara untuk beribadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Tak ada seseorangpun yang berhak mengatur cara dan tempat mereka menghubungkan diri dengan Tuhan. Asalkan, cara yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula, hak mereka beribadah tidak melanggar hak orang lain. Dalam konteks inilah HAM harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan ketiga, perlu merevitalisasi forum kerukunan umat beragama di berbagai daerah. Salah satu langkah nyata adalah dengan menghadirkan dialog agama. Dialog agama merupakan aktualisasi dari toleransi agama. Agar dialog agama tersebut efektif dan efisien, maka perlu dicermati hal-hal yang dinyatakan Hilmy (2008), bahwa proses dialog antarteks agama harus dihadirkan pada semangat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. munculnya pandangan bahwa agamaku lebih superior dari agamamu atau agamaku adalah agam terbaik, harus dibuang sebelum berdialog. Dialog anataragama dan komunikasi hendaknya terus dilakukan sehingga setiap konflik dapat teridentifikasi lebih dini dan segera ditemukan solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Isu HAM hendaknya terus dijadikan senjata pamungkas dalam meredam setiap permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, menjaga, memelihara, dan mengimplementasikan HAM tidak mengakibatkan munculnya pelanggaran HAM baru.
Membangun keharmonisan antara manusia dengan manusia merupakan substansi konsep Tri Hita Karana yang kedua. Keharmonisan ini berwujud nyata dalam bentuk toleransi yang merupakan salah satu prinsip HAM. Menghadirkan dan menghidupkan kembali toleransi antarumat manusia adalah keniscayaan di tengah degradasi moral akibat derasnya arus informasi dan komunikasi, serta masyarakat Indonesia yang multikultur. Degradasi moral yang terjadi di tengah masyarakat berpotensi besar menghadirkan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, semua pihak patut prihatin terhadap terjadinya fenomena tersebut. Keprihatinan ini juga diungkapkan oleh Surakhmad (2009), yang menyatakan bahwa pada saat ini, keberagaman bangsa Indonesia masih belum dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan bangsa. Bahkan, semakin banyak petunjuk yang mengarah kepada terbentuknya potensi perpecahan. Akibatnya, muncullah konflik baik vertikal maupun horizontal yang akhirnya memicu dan memacu pelanggaran HAM. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi toleransi menuju ke arah intoleransi. Kondisi ini terbentuk karena pada umumnya memelihara toleransi memerlukan energi yang besar dan lebih sulit ketimbang intoleransi. Banyak fakta yang terungkap bahwa tindakan intoleransi, seperti kekerasan, intimidasi, penyerangan oleh satu kelompok kepada kelompok lain kerap terjadi di Negara ini. Bahkan, terorisme menjadi paham yang sangat laku dari sebagian kelompok atau ormas. Perilaku intoleransi ini, jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar HAM.
Dalam konteks inilah, maka implementasi konsep kedua dari Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis manusia dengan manusia adalah keniscayaan. Salah satu langkah penting dalam mengimplementasikannya, yaitu berupaya meningkatkan rasa kemanusiaan di kalangan masyarakat melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sebagai usaha sadar dan terencana, pendidikan dihadirkan untuk mengembangkan potensi diri. Sehingga, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Inilah serangkaian sikap dan perilaku yang sangat bersinergi dengan penegakan HAM. Di lain pihak, potensi ini juga diyakini mampu membawa manusia keluar dari jerat kebodohan dan mengangkat kesejahteraannya. Manakala kebodohan dapat diperangi dan kesejahteraan ditingkatkan, maka upaya penegakan HAM menjadi lebih mudah dan lancar. Begitu pentingnya pendidikan sehingga seorang Einstein pun sampai berkomentar bahwa, Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school. Tanpa pendidikan, taraf hidup serta standar kualitas seorang manusia relatif rendah. Ketika kualitas kesejahteraan rendah, jangankan berpikir untuk kebutuhan penegakan HAM, untuk memenuhi perut saja sudah ketar-ketir. Tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan adalah struktur utama pembangunan peradaban bangsa yang besar. Pendidikan yang berkualitas membuat sebuah bangsa kuat, berwibawa, dan disegani sehingga mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan di satu pihak dan penegakan HAM di pihak lain. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pendidikan dikatakan sebagai jembatan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, sekaligus senjata pamungkas dalam penegakan HAM. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu pilar untuk menegakkan HAM secara berkelanjutan dan konprehensif.
Substansi ketiga dari konsep Tri Hita Karana adalah keharmonisan antara manusia dan alam. Terdapat sebagian keyakinan bahwa alam berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku masyarakat sekitarnya. Alam yang gersang, tandus, dengan sumber daya alam minim, diyakini akan membentuk komunitas manusia yang ganas, keras, dan bahkan kanibal. Pada kondisi seperti ini, tentu sangat susah memikirkan penegakan HAM. Sebaliknya, kondisi alam yang hijau, sejuk, dengan sumber daya alam melimpah, diyakini pula membentuk sikap dan perilaku manusia yang lemah-lembut serta penuh persaudaraan. Dalam kondisi seperti ini, sangat mudah mengelola masyarakat dan penegakan HAM. Oleh karena itu bersahabat dengan alam adalah keniscayaan dalam rangka mewujudkan penegakan HAM yang komprehensif. Dalam konteks inilah, maka konsep Tri Hita Karana hadir menawarkan upaya manusia untuk bersahabat dengan alam, sehingga terwujud hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.
Penerapan konsep Tri Hita Karana tentang Hubungan manusia dengan alam lingkungannya diwujudkan dengan upacara Bhuta Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya pada hakikatnya bertujuan untuk menyeimbangkan alam dari perilaku manusia yang merusakkan. Makna yang lebih luas yaitu, menghadirkan rasa kebersamaan yang tinggi antarumat manusia untuk memelihara alam. Dengan demikian alam memberikan ruang dan waktu bagi manusia untuk menyamakan langkah dan menyatukan persepsi agar dapat hidup sejahtera. Kondisi inilah yang langsung atau tidak langsung memperkuat penghargaan terhadap hak-hak dan tidak melanggar hak-hak orang lain. Akibatnya, upaya menumbuhkembangkan penegakan HAM di kalangan masyarakat dapat diwujudnyatakan.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa konsep Tri Hita Karana dapat dijadikan sebagai sarana untuk melembagakan HAM. Pelembagaan dimaksud dilakukan dengan menghadirkan keharmonisan ketiga komponen Tri Hita Karana yang sekaligus merupakan pilar penegakan HAM. Ketiga pilar dimaksud adalah Tuhan, manusia, dan alam. Oleh karena itu, menumbuhkembangkan konsep Tri Hita Karana di kalangan masyarakat merupakan upaya untuk melembagakan HAM.
Referensi
A’la, Abd. 2002. Melampaui Dialog Agama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Anonim. 2010. Tri Hita Karana. Dalam http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya/tri-hita-karana.html diunduh 10 Desember 2010
Atmadja, N. B. 2010. Bali pada Era Globalisasi Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya. Yogyakarta: LKiS
Hilmy, Masdar. 2008. Islam Profetik: Substansi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius
Surakhmad, Winarno. 2009. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis