CANANG SARI DI BAWAH BERINGIN
Oleh: Gede Putra Adnyana
Asap putih, sesekali jelas, lalu menghilang. Asap putih disertai bau wangi, menusuk hidung, terkadang menyapu wajah. Asap putih itu mengepul dari dupa di atas bunga-bunga berwadahkan daun pisang. Canang Sari itu baru saja ditempatkan Abdulah, seorang perantau yang berasal dari lereng Gunung Kelud, di Pelinggih itu. Harumnya bunga, masih tercium dari tempat duduknya yang berjarak sekitar lima puluh meter dari pelinggih. Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, pelinggih itu sudah ada dan berdiri kokoh. Dia setiap hari menyaksikan warga setempat menghaturkan Canang Sari di pelinggih itu. Pengalaman inilah yang membiasakannya menghaturkan Canang Sari di pelinggih itu juga. Kebiasaan menghaturkan Canang Sari, telah dilakukannya selama sepuluh tahun sejak kedatangannya pertama kali ke Bali bersama keluarganya. Dia tidak tahu, apa maksud dan tujuan menghaturkan Canang Sari itu, dan dia sama sekali tidak ingin tahu, apa maksud dan tujuannya.
Kedatangan Abdulah bersama keluarga ke Bali, ketika di tanah jawa terjadi letusan Gunung Kelud yang menghancurkan pemukiman di lerengnya. Wedus Gembel, menghanguskan segala yang dilewatinya, serta ancaman banjir lahar dingin, memaksa penduduk untuk mengungsi. Dia adalah salah satu penduduk yang berada di lereng Gunung Kelud. Bersama beberapa keluarga lainnya, dia melakukan perjalanan menuju Pulau Bali untuk memperbaiki taraf kehidupan. Beberapa keluarga, ada yang menuju daerah selatan, dan sampai di Kabupaten Karangasem. Sedangkan dia beserta keluarganya menuju daerah utara, sehingga menginjakkan kaki di Kabupaten Buleleng. Dia menempati daerah di lereng perbukitan yang relatif kering, tepatnya di Desa Benyah.
Abdulah duduk di bangku bambu, menikmati matahari pagi sambil menunggu pembeli yang berbelanja ke warungnya. Sejak delapan tahun lalu dia telah membuka warung dan menjual berbagai kebutuhan pokok sehari-hari. Pandangannya jauh ke atas bukit, mengamati Bukit Penangsaran yang kini menghijau. Sepuluh tahun lalu, bukit itu sangat tandus, nyaris tak ada tetumbuhan. Bukit terlihat cokelat, dengan kilauan batu padas tatkala memantulkan sinar matahari. Sungguh membuat panas di sekitar bukit. Kini, kondisi hijau, suasana sejuk, dan nuansa kedamaian menyelimuti di daerah sekitar perbukitan, termasuk di Desa Benyah. Perubahan itu terjadi dua tahun sejak kedatangannya di Desa Benyah. Atas gagasannya, warga desa dikumpulkan dan diajak melakukan reboisasi di sekitar Bukit Penangsaran. Warga menerima gagasan itu dengan baik, dan secara bertahap melakukan reboisasi sehingga hasilnya dapat dinikmati saat ini.
Selagi asyik menatap hijaunya Bukit Penangsaran, tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dirinya, “Pak Abdulah, Pak Abdulah”. Saking terkejutnya, cangkir berisi kopi panas yang dipegangnya jatuh dan pecah. Tanpa menghiraukan pecahan cangkir, dia menoleh ke arah suara. “Oh, Pak Wayan, saya kira siapa, ada apa?”, tanya Abdulah. Wayan Suasta adalah Kepala Desa Benyah. “Begini Pak, warga desa akan mengadakan kegiatan ngayah di sekitar areal Pura Padmasari. Bapak dimohon hadir besaok pagi jam delapan” kata Wayan Suasta. ”Baiklah Pak Wayan, terima kasih atas informasinya” jawab Abdulah. Selanjutnya, Wayan Suasta berkata ”Oh ya, kalau begitu saya permisi dulu, untuk melanjutkan informasi ini kepada warga lainnya”. Wayan Suasta langsung meninggalkan Abdulah yang masih sendiri memandangi kepergian kepala desa itu sampai tidak terlihat lagi. Mayoritas penduduk Desa Benyah beragama Hindu, keluarga Abdulah satu-satunya penganut non Hindu di daerah itu, dan Pura Padmasari adalah salah satu tempat suci umat hindu di Desa Benyah.
Abdulah masih berdiri, pikirannya menerawang ke masa lalu, ketika pertama kali melihat Pura Padmasari. Sepuluh tahun yang lalu, pura itu masih berupa gundukan-gundukan batu yang dilindungi oleh bangunan sederhana terbuat dari jerami padi. Saat itu, sudah banyak masyarakat di sekitar pura, yang menghaturkan banten pada hari-hari tertentu. Enam bulan setelah keberadaannya di tempat itu, dia mengikuti kebiasaan warga sekitar untuk menghaturkan banten di pura tersebut. Dia melakukannya dengan ikhlas tanpa ada paksaan, walaupun sampai saat ini dia tak pernah tahu apa maksud dan tujuannya. Masyarakat di sekitarnyapun menyambut kedatangannya untuk menghaturkan banten di pura Padmasari. Kebiasaan itu terus dilakukannya sampai saat ini dan sudah berlangsung hampir sepuluh tahun. Kini, pura Padmasari telah mengalami renovasi sehingga kelihatan bersih, indah, dan nyaman untuk melakukan persembahyangan. Abdulah adalah salah satu warga masyarakat yang ikut berkontribusi pada renovasi pura Padmasari.
Pagi itu udara sangat dingin, tetapi di sekitar areal Pura Padmasari sudah banyak orang melakukan aktivitas ngayah. Ada yang menyabit rumput, menyapu di sekitar lantai pura dan memasang perlengkapan upacara dari bambu. Warga masyarakat terlihat sangat ikhlas ngayah. Abdulah membawa sabit dan bekerja di bagian depan Pura Padmasari. Dari tempat itu terlihat jelas rumahnya yang bentuknya relatif berbeda dengan rumah lainnya. Sambil melakukan kegiatan ngayah, dia melihat warga masyarakat yang berbelanja ke warungnya. Saat istirahat, dia duduk di pojok areal pura dan termenung memikirkan rumah serta Pura Padmasari. Dalam hatinya bertanya, ”Pura Padmasari adalah tempat suci umat Hindu, lalu saya, seorang Muslim. Mengapa saya harus ikut ngayah di pura ini?”. Pikirannya melayang-layang, tentang kehidupannya saat masih di lereng Gunug Kelud, tatkala Gunung Kelud mengamuk, serta ketika pertama kali menginjakkan kaki di Desa Benyah. Dalam hati dia berbisik, ”kesejahteraanku di tempat ini jauh lebih baik dibandingkan ketika masih di jawa. Warga Desa Benyah sangat bersahabat. Tak pernah sekalipun, selama sepuluh tahun aku dan keluargaku dizalimi. Mereka menerimaku apa adanya, tak ada yang mencoba mengajakku untuk memeluk Hindu”. Dia menelan ludah, pandangannya tertuju pada rumahnya, walau pikirannya tak tentu arah. ”Nah, kalau begitu perlakuan warga desa kepadaku, mengapa aku harus munafik dan fanatik. Keyakinan adalah nilai dan nilai bersemayan di dalam hati. Kalau hatiku yakin, mengapa harus diingkari dan ditakuti? Aku harus yakin, bahwa di mana kaki dipijak, di sanalah langit dijunjung”, jawabnya dalam hati.
”Pak Abdulah, Pak Abdulah”, suara itu membangunkan lamunannya, dan segera menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu berasal dari Wayan Suasta, yang lagi beristirahat dengan warga desa lainnya. ”Sini Pak, ada ubi rebus, yuk kita nikmati sama-sama”, kata Wayan Suasta. Abdulah menjawab, ”Terima kasih Pak Wayan, rumahku dekat, nanti makan di rumah saja”. Selesai menjawab ajakan Wayan Suasta, dia kembali termenung, dalam hatinya berkata ”Ternyata betul, warga desa sangat ramah dan menerima dirinya apa adanya. Jadi, untuk apa harus membedakan diri dengan mereka. Saat ini aku berada di Desa Benyah, aku wajib mengikuti kebiasaan dan adat istiadat di tempat ini. Itulah cara terbaik membalas kebaikan warga desa”.
Tepat pukul 11.00 wita, Wayan Suasta mengumpulkan warga dan menginformasikan bahwa selama tiga hari ke depan akan dilaksanakan upacara berkaitan dengan piodalan di Pura Padmasari. Seluruh warga agar selalu ngayah dan melakukan persembahyangan untuk mendapat berkat dari Hyang Widi. Demikianlah, dengan berakhirnya penyampaian Wayan Suasta sebagai Kepala Desa Benyah, seluruh warga membubarkan diri dan kembali kerumahnya masing-masing. Abdulah pulang paling belakang, karena rumahnya paling dekat dengan Pura Padmasari. Dia mengambil karung yang berisi bekas Canang Sari, tepat di samping pelinggih yang berada di pohon beringin tua dan besar. Pohon beringin tua itu diperkirakan berumur ratusan tahun, seusia dengan keberadaan Desa Benyah. Dengan memikul karung, dia berjalan perlahan-lahan menuju rumahnya.
Sesampai di rumah, Abdulah duduk di ruang tamu seraya memanggil istrinya, ”Bu, ambilkan dong minuman dingin!”. Mendengar permintaan suaminya, Rosidah segera keluar dari warungnya sambil membawa sebotol minuman kesukaan suaminya. ”Bu, sini duduk sebentar, ada yang mau bapak bicarakan”. Rosidah sedikit terkejut, karena tidak biasa suaminya serius seperti ini. ”Ada apa pak, kok tumben serius begini”, kata Rosidah. ”Begini bu, sudah sepuluh tahun kita berada di Desa Benyah, semuanya berjalan sangat baik, saling hormat-menghormati, dan saling harga-menghargai. Tidak ada seorangpun warga yang mengganggu kehidupan kita. Mereka tetap memiliki keyakinan sendiri sebagai umat Hindu dan kita tetap sebagai Muslim sesuai keyakinan kita”. Mata Rosidah terbelalak, dia sangat terkejut, ditatap mata suaminya yang sedang tertuju pada lukisan kaligrafi yang tergantung di tembok rumahnya. ”Maksud bapak ?” teriak Rosidah. Abdulah menjawab ”Maksudnya, kita tidak boleh memaksakan kebiasaan yang berasal dari jawa, karena belum tentu sesuai dengan kebiasaan di sini”. Rosidah langsung menjawab, ”Bukankah kita sudah melakukan kebiasaan seperti yang dilakukan masyarakat desa ini? Setiap hari kita menghaturkan Canang Sari di pelinggih itu. Pelinggih yang ada di bawah pohon beringin besar dan tua itu”. Mendengar kata beringin tua, Abdulah dan Rosidah terdiam beberapa saat. Mereka asyik dengan pikirannya masing-masing tentang pengalamannya dengan pohon beringin tua itu. Sepuluh tahun yang lalu pohon beringin itu sudah sebesar saat ini. Kini sepuluh tahun telah berlalu pohon beringin itu masih tetap kokoh mencengkram tanah dan melindungi Pura Padmasari serta pelinggih itu. Pelinggih di mana Abdulah dan Rosidah sering menghaturkan Canang Sari. Begitu dekatnya mereka dengan pohon beringin tua itu, sehingga mereka sangat mencintainya.
Sepuluh tahun yang lalu ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di Desa Benyah, Abdulah dan Rosidah mengalami peristiwa yang sampai saat ini sangat sulit dilupakan. Dua bulan sejak kedatangannya di desa ini, ketika masih menumpang di salah satu rumah penduduk, mereka mengalami kejadian aneh. Malam, ketika bulan purnama suasana di luar rumah sangat dingin. Tetapi, di dalam rumah, mereka merasakan hawa yang sangat panas. Kedua anaknya, Hamzah dan Munaroh masih berumur 4 dan 2 tahun, tak henti-hentinya menangis. Mereka sangat bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, kedua anaknya tadi pagi sehat-sehat saja. Rosidah berbisik pada suaminya, ”Pak coba keluar mengambil air untuk cuci muka” tanpa berkata apa-apa, Abdulah langsung keluar menuju kamar mandi. Bukan main terkejutnya, karena di luar rumah ternyata sangat terang benderang. Api yang sangat besar menyala memenuhi seluruh pohon beringin tua, sehingga nyaris pohon beringin itu berwujud sebagai jilatan api. Abdulah segera kembali ke kamar, dan menemui istrinya, seraya berkata, ”Bu ada kejadian aneh di luar, pohon beringin di samping rumah kita terbakar, mungkin inilah yang menyebabkan panas di dalam rumah. Mari kita lihat!” ajak Abdulah kepada istrinya. Mereka berdua perlahan-lahan keluar dari kamar untuk menyaksikan kejadian itu. Ternyata betul, api bergulung-gulung sangat besar membakar pohon beringin tua. Suaranya keras mendesis, serta ada suara gemercik lonceng mengiringi jilatan api. Mereka terus mengintip dari beranda rumah, karena ternyata api yang besar menjilat pohon beringin tua itu tidak membuat hawa di luar rumah menjadi panas. Hawa di luar rumah sangat dingin, tetapi di dalam rumah sangat panas. Tidak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Mata mereka terus menatap dengan seksama jilatan api yang menggulung seluruh pohon beringin tua dari batang sampai daun. Jilatan api terkadang membesar, kemudian mengecil, disertai suara lonceng yang terkadang muncul dan menghilang. Sekitar setengah jam mereka berada di luar rumah, jilatan api yang membakar pohon beringin tua tersebut semakin mengecil. Tidak ada seorang wargapun di lingkungan desa mencoba memadamkan api. Rosidah berbisik pada suaminya, ”Pak, mengapa tidak ada warga desa yang datang untuk memadamkan kebakaran itu?. Abdulah terdiam sejenak, sambil mengamati jilatan api yang semakin mengecil, lalu berkata, ”Kita orang baru di sini, tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Yang penting kita berbuat baik, niscaya akan berbuah kebaikan”. Api semakin mengecil, yang akhirnya padam dan tak ada sedikit nyala barapun yang tersisa di sekitar pohon beringin tua. Anehnya, setelah semua api padam, sinar bulan purnama tampak sangat terang menyinari pohon beringin tua itu. Ternyata, pohon beringin tua masih berdiri kokoh tak tergoyahkan sedikitpun.
Kejadian itu terjadi sekitar jam 24 wita di saat semua terlelap dalam tidur dan mimpinya masing-masing. Abdulah dan Rosidah masih terpana memandang kejadian itu. Mereka tidak merasakan bahwa kedua tangannya saling berpegangan erat. Berbagai perasaan bercampur aduk, rasa takut, kagum, heran, dan ketidakpercayaan akan pengelihatannya sendiri. Kebisuan mereka dibuyarkan oleh suara keras yang jatuh dari atas pohon beringin tua itu. Mereka saling berpandangan. Rosidah berbisik, ”suara apa itu pak?” Abdulah tak menjawab, dia hanya mengamati asal suara itu. Ternyata tidak ada tanda-tanda gerakan atau benda jatuh di tempat itu. Kembali mereka dikejutkan oleh suara kedua yang jatuh dari atas pohon beringin tua. Kali ini, suaranya lebih keras dari yang pertama. Mendengar suara yang kedua, Rosidah berbisik pada suaminya, ”Pak, suaranya semakin keras. Perasaan saya tidak enak, ayo kita masuk, kasihan anak-anak di dalam”. Mendengar ajakan istrinya, Abdulah menarik tangan istrinya, dan secara perlahan-lahan masuk ke kamar. Sesampai di dalam ruangan, mereka melihat kedua anaknya sudah tertidur lelap. Rosidah berbisik, ”Pak, anak-anak sudah tidur, jangan diganggu, dan kita tidur di bawah saja menggunakan tikar ini”. Mereka membentangkan tikar, tidur, dan tak henti-hentinya menceritakan kejadian aneh yang dialami. Mereka akhirnya sama-sama tertidur pulas.
”Krosok, krosok, gedebug”, terdengar suara sangat keras menggetarkan rumah, menyebabkan Abdulah dan Rosidah terbangun secara tiba-tiba. Tanpa pikir panjang, mereka langsung keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Mereka sangat terkejut, kurang lebih satu meter dari dinding rumahnya terbentang ranting pohon beringin yang sangat besar. Ranting itu jatuh dari pohon beringin tua yang tadi malam disaksikannya terbakar secara misterius. Mereka saling berpandangan, serta mengusap muka antara percaya dan tidak percaya. Ketika masih terdiam seribu bahasa, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan keras. ”Abdulah, Rosidah, bagaimana keadaanmu?, apa semua baik-baik saja?”. Serta merta mereka menoleh ke arah suara itu, dan hampir bersamaan mereka berkata, ”Oh Pak Wayan, kami semua baik-baik saja”. Rumah Wayan Suasta dengan rumahnya berjarak sekitar dua ratus meter. Agaknya, Wayan Suasta juga mendengar suara keras yang menyebabkan terjadinya getaran itu. Wayan Suasta berkata, ”Ya, syukurlah Pak Abdulah dan keluarga tidak terkena runtuhan ranting pohon beringin tua itu”. Abdulah menjawab ”Ya Pak, kami heran, padahal ranting ini menjorok ke arah Pura Padmasari, tapi mengapa kok jatuh ke tempat ini?”. Wayan Suasta tidak menjawab, dia hanya melihat bekas-bekas patahan ranting pohon beringin tua yang menganga besar. Kemudian, Wayan Suasta berkata, ”Baiklah Pak Abdulah, nanti akan saya kumpulkan warga untuk membicarakan masalah ini. Saya pamit dulu sambil mempersiapkan segala sesuatunya”. Tanpa menunggu jawaban dari Abdulah, Wayan Suasta langsung berbalik menuju ke rumahnya.
Abdulah dan Rosidah masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi. Mereka tampak kebingungan menyaksikan kejadian tadi malam dan pagi ini. Lama mereka terdiam dalam pikirannya masing-masing, sampai akhirnya Abdulah berkata, ”Bu, aku merasakan sesuatu yang aneh”. Rosidah memandang suaminya dan berkata, ”Ya Pak, akupun merasakan seperti itu. Pohon beringin tua yang terbakar sangat hebat, ternyata tidak gosong sedikitpun. Demikian pula, ranting pohon beringin yang mengarah ke timur, ke arah Pura Padmasari, ternyata runtuh ke arah barat mendekati rumah kita”. Abdulah berkata, ”Walau demikian, kita tidak mengalami musibah apa-apa, keluarga kita baik-baik saja dan rumah kitapun tetap berdiri kokoh. Sepertinya, ada yang melindungi kita”. ”Maksud bapak?” tanya Rosidah. ”Ya, kehadiran kita di sini, dari awal berjalan baik-baik saja, apa karena kita rajin menghaturkan Canang Sari di pelinggih itu?, jawab Abdulah. Kembali mereka terdiam, karena Canang Sari, Pelinggih, Pura Padmasari, dan pohon beringin tua, adalah bagian dari kehidupannya. Abdulah melanjutkan berkata ”menurut sebagian warga Desa Benyah, pelinggih itu ditempati oleh penjaga yang melindungi kawasan di sekitar Bukit Penangsaran. Siapa ya, penjaga itu?”. Mereka terdiam, dan saling mamandang. Tak jelas apa yang mereka pikirkan, sampai akhirnya mereka terkejut mendengar teriakan anaknya yang baru saja bangun. Akhirnya mereka sekeluarga mempersiapkan aktivitas pagi hari sebagaimana biasa.
Sejak kejadian itu, Abdulah sekeluarga semakin rajin dan tekun menghaturkan Canang Sari di pelinggih itu. Pelinggih yang tepat berada di bawah pohon beringin tua. Abdulah menyadari, bahwa saat ini, dia dan keluarganya adalah minoritas di antara umat Hindu yang mayoritas. Dia masih seorang Muslim tulen, demikian pula dengan keluarganya. Namun interaksi keluarganya dengan masyarakat Desa Benyah sangat baik dan saling menghargai. Tidak ada niat sedikitpun dalam diri Abdulah untuk mengajak atau menyebarkan keyakinannya kepada masyarakat di lingkungannya. Demikian pula sebaliknya, tak ada seorangpun warga Desa Benyah yang mencoba mengajaknya berubah keyakinan. Semua mengalir bagai air tanpa ada halangan. Kondisi inilah yang menyebabkan dia merasa tidak terasing di tempat yang terasing. Berbagai kejadian aneh yang dialami selama sepuluh tahun, tidak terlepas dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian itu ditunjukkan dengan ikut melestarikan lingkungan alam yang ada disekitarnya. Terhitung sudah sepuluh kali Abdulah ikut terlibat dalam kegiatan penghijauan ke lereng Bukit Penangsaran. Demikian pula terhadap keberadaan pohon beringin tua itu, tidak ada setitikpun niat dalam hatinya untuk merusak atau menebang pohon beringin tua itu. Abdulah dan Warga Desa Benyah sudah menjadikan alam sebagai sahabat dan pelindungnya. Maka, alam akan memberikan manfaat dan perlindungan sebagai buah dari persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis