Konsep Tri Angga Busana Adat Bali


Busana adat Bali adalah identitas krama adat Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu. Busana Adat Bali adalah pakaian khas daerah Bali yang berciri khas adat Bali digunakan sebagai wujud pelindungan budaya yang mencerminkan sifat kesantunan, keteduhan, kedamaian, dan kebanggaan bagi pemakainya (Pergub Bali No. 79 Tahun 2018). Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa busana adat Bali memiliki ciri khas, yang membedakan dengan busana adat masyarakat lainnya. Oleh karena itu, menumbuhkan kebanggaan terhadap busana adat Bali adalah keniscayaan bagi seluruh krama adat Bali. Namun, sudahkah kebanggan itu tumbuh dan berkembang dalam setiap jiwa sanubari krama Bali?
Gambar 1. Busana adat Bali untuk laki-laki saat melakukan persembahyangan di pura (dokumen pribadi)
Busana Adat Bali Vs Revolusi Industri 4.0
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan yang sangat cepat di segala bidang, termasuk penggunaan busana adat Bali. Laju perubahan tersebut seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era revolusi industri 4.0. Informasi dan komunikasi berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu.  Beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi busana adat Bali, diantaranya 1) media massa yang menyebarkan informansi perkembangan trend dan sosial, 2) gaya hidup yang ingin serba cepat, instan, dan mewah, 3) kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan pergaulan sehari-hari, 4) minimnya sosialisasi tata cara berbusana adat Bali, dan 5) kurangnya perhatian orang tua dan keluarga. Faktor-faktor tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi eksistensi, substansi, dan filosofi busana adat Bali.
Berkaitan dengan hal tersebut, mengetahui, memahami, dan menyadari eksistensi busana adat Bali hendaknya mulai ditumbuhkan sejak dini. Berbagai elemen adat Bali harus saling bahu membahu menjaga, memelihara, dan menyosialisasikan makna, manfaat, dan tujuan menggunakan busana adat Bali. Paling sedikit terdapat empat tujuan penggunaan busana adat Bali, diantaranya 1) menjaga dan memelihara kelestariannya untuk meneguhkan jati diri, karakter, dan budi pekerti, 2) menyelaraskan fungsinya dalam kehidupan masyarakat agar sejalan dengan kemajuan kebudayaan, 3) mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam budaya Bali, dan 4) mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan industri lokal Bali. Dengan mengetahui dan memahami tujuan tersebut, maka semakin terang benderang bahwa menggunakan busana adat Bali dalam setiap kegiatan adat dan Agama Hindu di Bali adalah wujud tanggung jawab moral dan material setiap krama Bali.
Gambar 2. Busana adat Bali untuk perempuan yang digunkan pada saat melakukan persembahyangan di pura (dokumen pribadi)
Busana adat Bali adalah kearifan lokal Bali yang didalamnya terkandung makna hidup dan kehidupan yang dilandasi ajaran Agama Hindu. Brata, (2016) menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan elemen budaya yang harus digali, dikaji, dan direvitalisasi. Hal ini karena esensi kearifan lokal sangat penting dalam penguatan pondasi jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Dalam konteks ini, maka busana adat Bali perlu digali, dikaji, dan direvitalisasi sehingga dapat meneguhkan jati diri sebagai krama Bali. Oleh karena itu, perlu ada norma dan aturan tertulis tentang penggunaan busana adat Bali untuk menghindari penyimpangan lebih jauh.
Konsep Tri Angga
Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, secara tersurat menyebutkan unsur busana adat Bali untuk perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan sekurang-kurangnya terdiri atas kebaya, kamen, selendang (senteng), tata rambut rapi. Sedangkan laki-laki sekurang-kurangnya terdiri atas destar (udeng), baju, kampuh, selendang, dan kamen. Namun, secara eksplisit belum disebutkan tentang bentuk, jenis, warna, dan ukuran busana adat Bali. Hal ini tentu dimaksudkan untuk mengakomodasi konsep Desa Kala Patra. Karena, desa adat di Bali memiliki kebiasaan, keunikan, keberagaman, dan kesepakatan masing-masing.
Adanya pengakuan konsep Desa Kala Patra, menyebabkan keberagaman busana adat di masing-masing desa adat di Bali tidak dapat dihindari. Bahkan keberagaman yang terjadi, karena pengaruh kebudayan non Bali. Akibatnya, sering ditemukan penyimpangan penggunaan busana adat Bali yang melabrak norma kesopanan dan kesusilaan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Banyak ditemukan para perempuan menggunakan kebaya yang sangat transparan, kamen sampai di atas lutut, kamen yang terbelah sampai ke paha, selendang (senteng) dikalungkan di leher, dan rambut dibiarkan terurai (tidak diikat). Sementara untuk laki-laki ditemukan adanya fenomena destar (udeng) seperti songkok (peci), menggunakan kaos oblong, tidak memakai kampuh, dan kamen di atas lutut. Pendek kata, busana adat Bali telah mengalami pergeseran, penyimpangan, dan bahkan bertentangan dengan nilai kesusilaan dan norma agama yang dijiwai ajaran Agama Hindu. Semua fenomena tersebut harus mendapat pencermatan serius oleh seluruh elemen desa adat, agar jati diri krama Bali tidak mengalami degradasi.
Gambar 3. Busana adat Bali untuk laki-laki pada saat kegiatan ngayah upacara panca yadnya (dokumen pribadi)
Krama Bali perlu mengetahui, memahami, dan menyadari makna dari setiap unsur busana adat Bali. Hal ini penting, agar tidak terjadi degradasi yang lebih serius dalam berbusana adat Bali. Setiap unsur dalam busana adat Bali memiliki filosofi yang pada intinya adalah untuk meneguhkan tri hita karana. Secara umum, busana adat bali menganut konsep tri angga yang terdiri atas, 1) Dewa Angga, yakni dari leher ke kepala yang berupa udeng (destar), 2) Manusa Angga, yakni dari atas pusar sampai leher yaitu baju atau kebaya atau saput, dan 3) Butha Angga, yakni dari pusar sampai Bawah yang berwujud kain (kamen). Namun, pada prinsipnya busana adat Bali haruslah bersih, sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian sehingga mampu mengharmoniskan hubungan manusia dengan Sang Hyang Widi, manusia, dan alam.
Kamen adalah unsur pertama dan utama dalam busana adat Bali. Untuk laki-laki, kamen (wastra) dililitkan melingkar dari kiri ke kanan (berlawanan arah jarum jam). Hal ini bermakna agar teguh memegang kebenaran (dharma). Sedangkan untuk perempuan, lilitannya melingkar dari kanan ke kiri. Ini adalah simbol sakti, yang menjaga agar laki-laki tetap teguh menjalankan dharma. Tinggi kamen untuk laki-laki kira-kira sejengkal dari telapak kaki dengan menggunakan kancut (lalancingan) yang ujungnya lancip menyentuh tanah (anyotot pertiwi). Hal ini mengandung makna memberikan penghormatan kepada Sang Hyang Pertiwi. Sedangkan tinggi kamen perempuan kira-kira setelapak tangan dari telapak kaki yang bermakna selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu dalam penggunaan kamen terkandung makna purasa pradana yang berfungsi menjaga keharmonisan hidup dan kehidupan. Sungguh sebuah makna yang sangat mulia agar krama Bali dapat merenungkan dengan hati yang suci sehingga tumbuh keyakinan terhadap mulianya busana adat Bali.
Kampuh atau saput bagi laki-laki krama Bali dililitkan melingkar menutupi kamen dari kiri ke kanan (prasawya). Hal ini bermakna agar dapat mengendalikan sifat kejantanan, egoisme, dan hawa nafsu dalam menyama braya. Selanjutnya, saput diikat dengan umpal (senteng), yakni selendang kecil yang ikatannya di sisi kanan pinggang. Ini bermakna sebagai pengendalian diri dan sekaligus membagi tubuh menjadi dua, yakni Bhuta Angga (bagian bawah) dan Manusa Angga (bagian atas). Bagi perempuan, senteng diikatkan dengan simpul hidup di sisi kiri pinggang. Hal ini bermakna sebagai sakti dalam kerangka selalu mengontrol laki-laki untuk menegakkan dharma.
Baju (kwaca), baik untuk laki-laki maupun perempuan hendaknya bersih, rapi, sopan, dan tidak bertentangan dengan nilai kesusilaan. Baju atau kwaca merupakan simbol penutup kesombongan bagi krama Bali. Oleh karena itu, warna, bentuk, dan mode busana adat Bali hendaknya disesuaikan dengan konsep Desa Kala Patra. Artinya, agar dapat disesuaikan dengan jenis, tempat, waktu, dan makna dari yadnya yang akan dilaksanakan. Misalnya, untuk busana adat Bali ke pura atau pempat suci, diharapkan menggunakan pakain putih dan/atau kuning. Karena, warna putih berarti kesucian dan kuning berarti kesuburan dan kedamaian.
Udeng atau destar di kepala (prabu), adalah unsur busana adat Bali yang wajib bagi laki-laki. Oleh karena itu, pemakaian udeng (destar) hendaknya menghadirkan kesucian dan kejernihan pikiran bagi krama Bali. Udeng juga merupakan simbol pangiket manah (pemusatan pikiran). Ujung udeng hendaknya lurus ke atas, yang bermakna lurus dan tulus bakti kehadapan Sang Hyang widi Wasa. Kedua ujung udeng merupakan simbol rwabhineda yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan menurut ajaran Agama Hindu. Secara umum terdapat tiga jenis udeng (destar) berdasarkan pemanfaatannya, yakni 1) udeng jejateran, yang digunakan untuk persembahyangan, 2) udeng dara kepak, yang digunakan oleh warna ksatria, dan 3) udeng beblatukan, yang digunakan oleh pemangku. Sedangkan bagi perempuan menggunakan ikat kepala dan papusungan. Terdapat tiga jenis papusungan, yakni 1) pusung gonjer bagi perempuan belum menikah, 2) pusung tagel bagi perempuan yang sudah menikah, dan 3) pusung podgala (kakupu). Pada prinsipnya, papusungan merupakan simbol keindahan, mahkota, dan stana Sang Hyang Tri Murti.
Gambar 4. Busana adat Bali perempuan, khususnya para yowana pada saat kegiatan pawintenan sari di pura (dokumen pribadi)
Pararem Busana Adat Bali
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa busana adat Bali memiliki makna yang sangat mendalam dan mulia. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi krama Bali untuk abai, apalagi mencemooh eksistensi busana adat Bali. Sudah saatnya kebanggaan dan rasa memiliki krama Bali terhadap eksistensi busana adat Bali ditumbuhkembangkan. Mengetahui, memahami, dan menyadari bahwa busana adat Bali adalah elemen penting yang tak dapat dipisahkan dari implementasi ajaran Agama Hindu di Bali. Artinya, mengajegkan busana adat Bali berarti mengajegkan Agama Hindu di Bali. Begitu strategisnya, eksistensi busana adat Bali, maka seluruh stakeholders yang berkepentingan dengan budaya dan Agama Hindu di Bali hendaknya saling mendukung untuk mengawal, menjaga, memelihara, dan melestarikan busana adat Bali.
Dalam konteks ini, maka penguatan penggunaan busana adat Bali hendaknya dimulai dari wilayah yang paling kecil, yakni desa adat.  Saat ini jumlah desa adat (desa pakraman) di seluruh Bali mencapai 1.390 desa adat (Juknis BKK, 2019). Artinya, jika memiliki kesamaan persepsi dan kesatuan langkah tentang busana adat Bali, maka gerakan itu dipastikan dapat dimulai dari 1.390 desa adat di seluruh Bali. Ini adalah gerakan semesta berencana yang holistik dan komprehensip. Gerakan ini dipastikan akan berhasil, efektif, dan efisien dalam mengawal penggunaan busana adat Bali. Apalagi, gerakan ini disinergikan dengan pemberaian bantuan keuangan khusus (BKK) yang memang diperuntukkan bagi desa adat, subak, dan subak abian. Sehingga, semua desa adat akan merencanakan program dan kegiatan yang menyentuh langsung tentang busana adat Bali.
Upaya berikutnya, adalah dengan menuliskan berbagai aturan tentang busana adat Bali. Aturan tersebut selanjutnya dirumuskan dan disusun dalam wujud aturan adat yang disebut dengan pararem busana adat Bali. Melalui pararem ini berbagai aturan teknis dirumuskan, didiskusikan, disosialisasikan, dan didokumentasikan. Selanjutnya, melalui kesepakatan dalam paruman, pararem busana adat Bali dapat diimplementasikan dengan tertib. Dalam perarem busana adat Bali, perlu dituliskan tatwa atau filosofis, bentuk, jenis, kegiatan, waktu, dan tempat penggunaan busana adat Bali. Semua ditulis dengan memperhatikan situasi dan kondisi krama desa adat atau dengan mempertimbangkan Desa Kala Patra. Selanjutnya, perlu ada komitmen bagi krama desa yang dipelopori oleh prajuru adat untuk melaksanakan pararem tersebut dengan tertib, baik dan benar. Jika situasi dan kondisi ini dapat diwujudnyatakan, maka membangun kebersamaan atas dasar saling menghormati yang dilandasi rasa kekeluargaan akan terwujud di wilayah desa adat. Muara dari semua ini adalah terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh krama desa adat di Bali.


Artikel Terkait:

1 komentar:

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis