Menggugat Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

REFLEKSI HARI GURU:
MENGGUGAT GELAR PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
Oleh: Gede Putra Adnyana

Gelar pahlawan tanpa tanda jasa kepada para guru semestinya hadir dengan segala kebanggaannya. Dengan gelar itu, semua komponen bangsa memberikan dukungan baik moral maupun material. Dengan gelar itu pula, guru dapat mengembangkan sikap kritis dan kreativitasnya menembus ruang dan waktu sehingga terwujud sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru. Akhirnya, dengan gelar itu, guru berada pada posisi terhormat dengan segala keunggulannya. Dampak ikutan dari fenomena itu adalah profesi guru menjadi idaman untuk diraih oleh setiap generasi muda. Kondisi ini sungguh merupakan awal yang mulia dan potensial mengantarkan bangsa ke depan pintu gerbang peningkatan kualitas pendidikan. Tidak dapat dipungkiri dengan kualitas pendidikan yang tinggi, akan mampu menjadikan bangsa ini kompetitif dalam persaingan regional maupun global.
Namun kenyataan di lapangan, sungguh sangat kontradiktif dengan harapan di balik gelar pahlawan tanpa tanda jasa itu. Banyak ditemukan guru dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Dari kajian aspek ekonomi, banyak ditemukan guru berada pada kondisi ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini tidak terlepas dari profesi guru yang berada pada posisi intermediet. Artinya, di satu pihak guru harus melaksanakan tugas-tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan profesional tetapi berpenghasilan standar. Sedangkan di pihak lain guru tidak dibenarkan bekerja sambilan untuk menambah penghasilan dengan dalih dapat mengganggu tugas-tugas profesinya. Hal ini menyebabkan guru lari di tempat untuk meningkatkan kondisi ekonominya dan terjebak dalam lingkaran tingkat ekonomi menengaa ke bawah. Akibatnya, dari aspek sosial guru tidak lagi menjadi tokoh di kalangan masyarakat. Karena kekuatan seorang tokoh di mata masyarakat, disamping kuat dari segi intelektual, juga kuat dari segi finansial. Secerdas apapun gagasan seorang tokoh dalam pembangunan, tidak akan pernah terimplementasi tanpa ada dukungan keuangan yang memadai. Dalam konteks inilah guru tidak berdaya dan hanya tenggelam pada tataran gagasan, tanpa pernah terwujudnyatakan, walaupun secara teoritis gagasan itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ditinjau dari aspek politik, ternyata kondisi guru setali tiga uang dengan aspek ekonomi dan sosial. Guru tidak mempunyai kekuatan politik untuk dapat menentukan arah pembangunan bangsa. Marginalisasi politik terhadap para guru menyebabkan tidak ada saluran yang dapat dijadikan untuk mengalirkan gugatan para guru terhadap eksistensinya. Sungguh sebuah sistem yang menutup semua celah bagi para guru untuk bersuara. Jika marginalisasi ini terus berlangsung tanpa uapaya untuk mengadakan regulasi dan reorientasi eksistensi profesi guru, maka diyakini cepat atau lambat terjadi degradasi kualitas pendidikan secara nasional. Implikasinya, terjadi degradasi kualitas generasi muda di masa datang. Kondisi tersebut sungguh merupakan ancaman sekaligus bencana terhadap eksistensi bangsa dan Negara.
Oleh karena itu seluruh stakeholder pendidikan harus bahu membahu dan dengan segara melakukan langkah mencari solusi terhadap permasalahan pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa, agaknya saat ini sudah tidak relevan lagi menghadapi perubahan zaman. Karena nyata-nyata gelar itu hanyalah meninabobokan para guru untuk tidak menuntut terlalu banyak. Gelar itu sangat tidak kontekstual, sehingga tidak mampu mengangkat derajat profesi guru. Bahkan, ada kecendrungan dengan gelar itu guru lebih mudah dijadikan objek oleh para pemegang kebijakan. Pendek kata, gelar pahlawan tanpa tanda jasa, lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya bagi para guru. Lalu siapakah yang harus memulai langkah regulasi dan reorientasi itu dan bagaimana langkah-langkah itu dilakukan, serta bagaimana posisi guru dalam kaitan dengan hal tersebut.
Pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi, merupakan komponen yang pertama dan utama untuk melakukan regulasi dan reorientasi sistem pendidikan. Regulasi harus dilakukan mulai dari proses produksi calon guru, perekrutan, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, sanksi, sampai kepada sistem penggajian. Dalam konteks ini, agaknya sistem penggajian perlu mendapat pencermatan dengan segera. Karena sangat diyakini motivasi kerja berkorelasi positif dan tinggi dengan penghasilan yang diperolehnya. Beberapa kebijakan pemerintah untuk mengangkat penghasilan para guru telah dilakukan, seperti pemberian tunjangan profesi yang diawali dengan sertifikasi guru, tunjangan lauk pauk, dan insentif tambahan penghasilan. Namun, ada kesan langkah-langkah itu dilaksanakan setengah hati oleh pemerintah. Argumentasi yang mendasarinya adalah adanya fakta bahwa pembayaran tunjangan profesi guru yang sangat lambat, tidak berkelanjutan, dan bahkan ada yang belum terbayarkan sampai saat ini. Akibatnya, banyak isu yang berkembang di kalangan guru, diantaranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh, para PNS nonguru cemburu, dan bahkan ada isu yang berkembang bahwa sengaja dana untuk membayar tunjangan itu disimpan lebih lama di bank agar bunganya menjadi lebih besar. Jika hal ini tidak segera diantisipasi maka dapat memunculkan konflik profesi yang mengarah kepada konflik sosial. Fenomena ini tentu sangat berbahaya terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa. Hal lain yang juga dapat dijadikan indikator ketidaksungguhan pemerintah dan pemerintah daerah terhadap peningkatan kesejahteraan guru adalah adanya beberapa daerah yang belum membayar tunjangan lauk pauk dan insentif tambahan penghasilan. Dalam konteks ini, political will  pemerintah harus secara konsisten dan segera direalisasikan dan jangan hanya sekadar wacana saja. Jika hal ini telah terwujud, maka diyakini akan terjadi kesamaan orientasi antara guru dengan pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan agar dapat bersaing dalam percaturan dunia.
Upaya pemerintah saja tidak cukup untuk mengubah pemaknaan pahlawan tanpa tanda jasa. Guru yang dilabeli gelar itu, harus sebagai pelaku aktif untuk segera merenovasi kompetensinya. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Keempat kompetensi itu, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Untuk mewujudkan keempat kompetensi itu, guru harus mempersiapkan diri menjadi sosok yang progresif futuristik. Paradigma lama dalam pembelajaran harus segara diakhiri, dan paradigma baru pembelajaran segera diimplementasikan. Perubahan paradigma itu meliputi, dari sikap guru yang konservatif tradisional menjadi progresif futuristik, dari penceramah yang menggurui menjadi pendengar yang empati, dan dari pola instruksi informasi dan nara sumber menjadi pengelola informasi. Jika paradigam ini sudah mendarah daging di hati sanubari para guru, maka akan hadir sosok guru modern dengan segala kompetensinya.
Oleh karena itu, memposisikan guru sebagai inti pembangunan adalah keniscayaan. Jangan lagi guru diperdaya dengan pengahargaan pahlawan tanpa tanda jasa. Biarlah gelar untuk para guru muncul sejalam dengan perkembangan dan perubahan zaman. Guru akan hadir sebagai pahlawan modern yang mampu beradaptasi dengan cepatnya arus modernisasi. Guru dapat menjelma menjadi pahlawan teknologi, yang dengan segera mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta produk teknologi itu. Dan akhirnya guru akan berwujud sebagai pahlawan sejati, yang dengan tulus menggunakan pendekatan hati nurani untuk membimbing siswa mengejar dan mencapai prestasi. Sungguh sebuah penghargaan yang sangat kontekstual dan bermakna dalam mengangkat eksistensi dan derajat guru dari berbagai aspek kajian ketimbang gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis