Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan

FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Oleh
Gede Putra Adnyana
1.  Pendahuluan
Dunia penelitia sains dan matematika telah menunjukkan pergeseran, yaitu lebih menekankan proses belajar mengajar dan metode penelitian yang menitikberatkan konsep bahwa “dalam belajar seseorang mengkonstruk pengetahuannya”. Dalam praktik pendidikan sains dan matematika juga telah diusahakan agar partisipasi murid dalam membangun pengetahuannua ditekankan. Belajar adalah kegiatan akktif siswa untuk membentuk pengetahua. Kedua segi ini menunjuk suatu oandangan baru dalam pendidikan sains dan matematika, yaitu konstruktivisme (Suparno, Paul, 1997: 16).
2.  Filsafat Konstruktivisme
Konastruktivisme beranggapan bahwa pengetauan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan. Suatu pengetahuandianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisem, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan buka sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkemabng terus menerus. Dalam prose situ, keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa factor, seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomaly yang membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Konstruktivisme dibedakan dalam tiga taraf, yaitu radikal, realisme hipotesis, dan yang biasa. Pembedaan ini didasarkan pada hubungan antara pengetahuan dengan realitas yang ada (Suparno, Paul, 1997: 29).
3.  Konstruktivisme Piaget
Teori pengetauan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme delalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktuur pemikiran manusia. Berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala yang baru, dan skema pengetahuan yang telah dipunyai, seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dalam menanggapai pengalaman-pengalaman baru itu dapat terjadi, skema seseorang dikembangkan lebih umum dan rinci, dapat pula mengalami perubahan total karena skema yang lama tidak cocok lagi untuk menjawab danmenginterpretasikan pengalaman baru. Proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema ini diatur otomatis oleh keseimbangan dalam pikiran manusia. Dengan cara seperti ini pengetahuan seseorang selalu berkembang.
Dalam pembentukan pengetahuan, Piaget membedakan tiga macam pengetahuan yaitu fisis, matematis-logis, dan social. Pengetahuan fisis didapatkan dari abstraksi seseorang terhadap objek secara langsung, pengetahuan matematis-logis didapatkan dari abstraksi seseorang terhadap relasi dan fungsi objek secara tidak langsung, sedangkan pengetahuan social didapatkan dari interaksi seseorang dengan masyarakat, lingkungan, dan budaya yang ada. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental (Suparno, Paul, 1997: 42).
4.  Konstruktivisme Personal Dan Sosial
Dibedakan tuga macam konstruktivisme berdasarkan siapa atau apa yang menentukan dalam pembentukan pengetahuan. Pertama, konstruktivisme psikologis personal yang lebih menekankan bahwa pribadi seseorang sendirilah yang mengkonstruksikan pengetahuan. Kedua, konstruktivisme sosiologis yang lebih menekankan masyarakat sebagai pemebntuk pengetahuan. Ketiga, sosiokulturalisme yang menggunakan keduanya, yaitu konstruksi personal dan social, bahwa dalampemebntukan pengetahuan kedua aspek itu berkaitan.
Dalam pendidikan sains dan matematika, sosiokulturalisme ini mulai banyak diterima. Di samping pentingnya peran dankeaktifan individu dalam membentuk pengetahuannya, juga tidak dipungkiri peran masyarakat, orang lain, dan lingkungan dalam proses pembentukan pengetahuan tersebut. Dalam kerangka inilah belajar bersama dalam kelompok menjadi penting (Suparno, Paul, 1997: 48).
5.  Hubungan Konstruktivisme dengan Beberapa Teori Belajar
Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan konsep. Yaitu perubahan yang kuat dan yang lemah. Perubahan konsep yang kuat terjado bila seseorang mengadakan akomodasi terhadp yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Untuk memeungkinkan perubahan tersebut, diperlukan situasi anomaly, yakni suatu keadaan yang menciptakan ketidak seimbangan dalam pikiran atau yang menantang seseorang berpikir.
Teori asimilasi Ausubel menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi, yaitu bila siswa mengasimilasikan apa yang ia pelajari dengan pengetahuan yang telah ia punyai sebelumnya. Dalam proses ini pengetahuan seseorang selalu diperbarui dan dikembangkan lewat fenimena-fenomena dan pengalaman baru.
Teori skema lebih menuinjukkan bahwa pengetahuan kita tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah dan mengubah skema yang ada sehingga dapat menjadi lebih luas dan berkembang. Ketiga teori tersebut dalam banyak hal mengandung kesamaan dengan prinsip konstruktivisme. Sementara itu, konstruktivisme sangat berbeda dan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme dan maturasionisme (Suparno, Paul, 1997: 60).
6.  Impikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Belajar
Belajar adalahproses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan social. Proses ini adalah proses aktif. Beberapa factor seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kelompok belajar dianggap sangat membantu belajar karena mengandung beberapa unsure yang berguna menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri seseorang (Suparno, Paul, 1997: 64).
7.  Impikasi Konstruktivisme Terhadap Proses Mengajar
Mengajar adalah proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belaum tahu (murid), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatan terhadap fenomena dan objek yang ingin deiketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan.
Tugas guru dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptyakan persoalan, membiarkanmurid mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep murid. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran murid apapun adanya sambil menunjukkan apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid yang berbeda (Suparno, Paul, 1997: 72).
8.  Pengaruh  Konstruktivisme Terhadap Persekolahan
Teori konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Teori tersebut secara umum digunakan sebagai referensi dan evaluasi proses belajar mengajar dan juga pembaruan kurikulum sains dan matematika. Bahkan, sekarang mulai dicoba untuk menerapkan prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembaruan pendidikan guru (Suparno, Paul, 1997: 78).
9.  Catatan Terhadap Beberapa Prinsip  Konstruktivisme
Sebagai filsafat pengetahuan, konstruktivisme mambatasi diri pada bagaimana pengetahuan itu dibentuk dan bagaimana pengetahuan itu dianggap benar. Pengetahuan itu dibentuk oleh pengamat dari abstraksi terhadap pengalamannya baik fisik maupun mental. Pengetahuan yang dibentuk itu dibenarkan bila pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi persoalan yang sejenis. Bahwa pengetahuan dibentuk dari pengalaman, sesuai dengan Empirisme dan pengetahuan dibenarkan bila dapat digunakan, sesuai dengan Pragmatisme. Jika pada penerapan konstruktivisme lebih menekankan pengalaman dan eksperimen dalam pembentukan pengetahuan, cenderung ke Empirisme. Sedangkan, jika lebih menekan segi abstraksi pengetahuan, cendrung menjadi Subjektivisme (Suparno, Paul, 1997: 79).
Menurut konstrutkivistik, pengetahuan selalu punya sifat subjektif karena dibentuk oleh pengamat. Dalam kaitan ini, pengetahuan seseorang tidak pernah salah, karena subjektif. Bahkan, kaum konstruktivis radikal, harus menerima setiap abstraksi dari seseorang, karena tidak mempunyai cara untuk menilai abstarksi itu salah atau tidak. Persoalan ini dapat dipecahkan oleh sosiokultarisme, bahwa masyarakat berperanan penting dalam konstruksi pengatahuan, yaitu dengan menganalisis pakah abstraksi itu sesuai dengan abstraksi orang-orang lain, terlebih sesuai dengan abstraksi para ahli dalam bidang tersebut (Suparno, Paul, 1997: 79).
Semakin pengetahuan seseoarng berlaku untuk banyak fenomena baru, semakin kuat pengetahuan itu. Dalam kaitan ini, pengetahua seseoranmg dapat diklasifikasikan menjadi pengethuan yang lebih umum dan luas atau pengetahuan sempit dan terbatas. Pengecekan apakah suatu pengetahuan berlaku umum atau tidak, amat penting untuk menentukan kuat tidaknya penegtahuan itu (Suparno, Paul, 1997: 80).

Buku Rujukan
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Cet. Ke-7. Yogyakarta: Kanisius

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis