DESENTRALISASI PENDIDIKAN: LEBIH BANYAK MUDARAT KETIMBANG MANFAAT


Oleh: Gede Putra Adnyana

Rencana pemerintah melalui Kemdiknas untuk mengembalikan kewenangan penanganan tenaga pendidik, seperti guru dan kepala sekolah ke tangan pemerintah pusat, dan tidak lagi di tangan pemerintah daerah adalah langkah cerdas. Dikatakan cerdas, karena ini merupakan langkah antisipasi terhadap tindakan egois dan otoriter dari sebagian pejabat daerah. Tidak jarang tindakan itu menghancurkan sistem pendidikan, karena pejabat daerah yang berwenang tidak memahami sitem pendidikan secara komprehensif. Oleh karena itu mengkaji ulang desentralisasi pendidikan adalah keniscayaan sehingga lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan mutasi pendidik dan tenaga kependidikan. Tingginya frekuensi mutasi ini dipengaruhi oleh dinamika politik di daerah. Tidak salah jika Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengemukakan bahwa di antara empat komponen sekolah (kurikulum, infrastruktur, guru, dan sistem pembelajaran), tenaga pendidiklah yang paling rawan terpengaruh politik daerah (kompas.com, 24/6/2011). Secara psikologis frekuensi mutasi yang tinggi berdampak kurang baik terhadap dunia pendidikan. Karena pendidik dan tenaga kependidikan yang dimutasi harus melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Apalagi mutasi terjadi bukan karena permohonan sendiri. Kondisi ini berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan.
Di lain pihak, mutasi lintas kabupaten sangat sulit dilakukan, karena setiap kabupaten telah memiliki data kepegawaian dan anggaran setiap tahun yang tetap. Padahal, banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang berkenan pulang kampung untuk membangun daerah kelahirannya. Pada umumnya sosok putra daerah akan memiliki fanatisme, dedikasi, komitmen dan tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap tanah kelahirannya dibandingkan non putra daerah. Kondisi ini langsung atau tidak langsung menghambat upaya pembangunan pendidikan secara holistik.
 Mutasi yang dilakukan pemerintah daerah terkadang tidak proporsional dan profesional. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik di daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Dalam hal ini berlaku prinsip, jika mempunyai kepentingan dan pandangan yang sama maka dia adalah kawan. Sebaliknya, jika berbeda maka dia adalah lawan. Dirjen Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan Nasional, Suyanto, mengatakan bahwa politik daerah yang ikut campur dalam pendidikan sangat merugikan dunia pendidikan. Ketika urusan guru berada di tangan daerah, posisi guru sangat rentan dipindah karena kepentingan politik atau masalah pribadi (kompas.com, 24/6/2011). Jika pendidikan telah dikotori oleh politik, maka lambat laun namun pasti pendidikan mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran.
Desentralisasi pendidikan juga memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan rekrutmen pegawai dan pejabat di bidang pendidikan. Akibatnya, nuansa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sangat kental terjadi. Karena, semakin sempit wilayah maka kekerabatan semakin dekat sehingga neoptisme tidak dapat dihindari. Pengangkatan kepala sekolah dan pejabat pendidikan strategis lainnya yang tidak dilakukan dengan profesional akan melahirkan figur tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu sistem rekrutmen yang diwarnai KKN diyakini akan menghasilkan produk yang tidak berkualitas. Ketika pejabat yang berwenang mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan tidak berkualitas dan tidak memahami pendidikan secara holistik, maka keputusan yang diambil cenderung tidak berdampak positif terhadap perkembangan dunia pendidikan.
Birokrasi administrasi kepegawaian dalam dunia pendidikan juga menjadi lebih panjang dan berbelit, akibat penerapan desentralisasi pendidikan. Mekanisme kenaikan pangkat harus melalui tahap-tahap yang lebih banyak. Kondisi ini melahirkan sistem yang tidak efektif dan efisien, karena memakan waktu, biaya, dan tenaga lebih banyak. Pengorbanan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih banyak untuk pengurusan administrasi pendidikan dipastikan mengurangi pelayanan kepada siswa. Ide awal desentralisasi pendidikan sesungguhnya untuk efektivitas dan efisiensi birokrasi. Tetapi, ide itu jauh panggang dari api. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa arogansi kekuasaan pemerintah daerah justru menyebabkan kontra produktif dengan ide tersebut. 
Desentralisasi pendidikan ternyata juga berdampak negatif terhadap pembiayaan pendidikan. Terhambatnya penyaluran dana bantuan sekolah (BOS) patut diduga disebabkan adanya desentralisasi pembiayaan pendidikan. Penyaluran BOS yang harus mendapatkan persetujuan DPRD merupakan faktor penghambat utama. Mekanisme yang berbelit, mulai dari pengamprahan sampai menunggu ketok palu DPRD memakan waktu, biaya, dan tenaga yang banyak. Sementara itu, sekolah sangat mendesak memerlukan dana itu untuk penyenggaraan pendidikan. Oleh karena itu sangat relevan dan signifikan jika desentralisasi pendidikan dikaji ulang demi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. (Penulis: Guru SMAN 2 Busungbiu, Buleleng, Bali)


Tulisan ini juga tersedia di: 
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/16/desentralisasi-pendidikan-lebih-banyak-mudarat-ketimbang-manfaat/

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Pembaca adalah Kebahagiaan Penulis